MY QUARTER LIFE CRISIS

Hey, long time no see..

Karena kesibukan apoteker yang menyedot waktu dan energi 5 bulan terakhir ini, saya tidak sempat lagi mengupdate blog ini. Well, it doesn't mean saya berhenti menulis. I kept on writing, hanya saja di platform lain, yaitu line, dan jurnal pribadi untuk hal-hal yang sifatnya private haha.

Hari ini saya ingin berbicara tentang ketakutan dan kecemasan akan masa depan. Hey, I think, I'm having a condition called 'quarter life crisis'. Yah, fase-fase transisi dari tahap dependen menjadi independen, dalam banyak hal, finansial, decision making, dll.

Bad Decision Making

Yap, decision making. Sesuatu yang selalu berusaha saya hindari selama ini. I'm too scared to do it. How to explain it? Saya berusaha menganalisis mengapa saya begitu takut melakukannya. Apakah itu karena masalah responsibilitas? Takut diminta mempertanggungjawabkan pilihan hidup saya. Saya ingin orang lain memilihkannya untuk saya, sehingga ada yang akhirnya bisa disalahkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Okay, that's not mature at all, girl!

Salah satu decision making yang terasa berat adalah memilih karir. Sekitar 1 bulan lagi, saya sudah harus menghadapi dunia kerja (It means saya harus lulus apoteker, aamiin). Dan hingga detik ini saya belum tahu ke mana saya harus melangkah. Industri vs rumah sakit vs perguruan tinggi. You know what, being open minded is kind of difficult one. Saya merasa ketiga opsi itu ada plus dan minusnya masing-masing. Ketiga pilihan itu benar-benar terbuka di depan saya. Saya ingin mencoba semuanya untuk benar-benar tahu manakah yang paling fit dengan personality saya.

Saya TAKUT memutuskan. Bagaimana kalau di tengah jalan saya tidak dapat mengikuti flow di tempat kerja? Bagaimana jika saya tidak bisa berdaptasi di tempat baru, culture baru yang sudah established. Saya tidak pandai bersosialisasi, terutama di tempat sekelompok orang yang sudah solid, dan saya newcomer di situ. Atau bagaimana jika jobdesc yang diberikan tidak sesuai dengan capability saya, sehingga saya tidak dapat menyelesaikannya dengan baik? Dan sejuta pikiran-pikiran lainnya yang memenuhi otak saya. Sesak. Ingin meledak.

Sebenarnya ketakutan itu tidak pure 100%, melainkan bercampur dengan rasa excited dan penasaran. Well, basically saya termasuk orang yang senang dengan novelty, belajar sesuatu yang belum pernah dipelajari sebelumnya. Ini yang membuat saya ingin segera memasuki dunia kerja. Bosan menghabiskan 6,5 tahun saya untuk belajar sesuatu yang relatif mirip. 

Well, finally, I'll just go with the flow. Saya sampai pada suatu tahap di mana saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan di dalam hidup saya? Saya senang membaca dan menulis. Tapi, kemampuan menulis saya hanyalah mediocre. I have no specialty. I'm so stuck about this. Being mediocre in many fields is difficult too.

I'm not that confident, though

You know what? I'm not bold at all, eventhough many people think that I'm bold enough to take many challenges, thing that I've never done before in my life. Sometimes people also think that I'm confident, while the truth is I'm not. Ada banyak waktu di mana saya merasa minder dan tidak percaya dengan kemampuan diri saya sendiri. Apakah saya sepintar dan secerdas itu? Apakah saya mampu melewatinya? I'm just lucky. Itu pikiran saya tentang achievements yang pernah saya dapatkan. I'm just average person who dont have any specialty. I'll choose to be invisible. Please dont look at me. Stay away from me. Most of the time, pikiran saya seperti itu.

Namun, pada kesempatan-kesempatan tertentu (mainly under stimulation of caffeine) saya bisa menjadi cocky dan merasa superior. Namun porsinya lebih kecil daripada keminderan saya selama ini. But when I'm in action, people will suddenly shocked. The day following that will be different. People will respect me more than previous day. Sementara hari-hari sebelumnya, saya invisible, dan orang-orang bahkan mungkin tidak menganggap saya ada, hari setelah kejadian tersebut, mereka berubah. Mereka mulai menyapa atau mengajak saya ngobrol. Yeah, basically manusia kan oportunis.

Why I feel so lonely?

Sejujurnya ini bukan pertama kali saya merasakan kesepian yang begitu besar. Sejak saya merantau dan hidup terpisah dengan keluarga, saya selalu merasa kesepian. Menjadi introvert bukan berarti selalu suka dengan kesendirian. I dont like too much noise, tapi saya tetap butuh orang lain untuk mengisi hidup saya. Tidak banyak, beberapa orang saja dengan hubungan yang cukup dekat.

Jika mencoba mengingat-ingat kehidupan saya, ada beberapa tahap kehidupan di mana saya merasa sangat kesepian. Tahap pertama adalah awal-awal masa kuliah, belum punya teman banyak. Kemudian, hal itu terlewati. Next stage adalah setelah saya operasi skoliosis dan saya harus tinggal di tempat yang jauh dari kampus. Kegiatan saya selain kuliah dihentikan sementara. I have nothing to do. Tahap ketiga adalah momen setelah saya lulus s1, dan masa-masa kuliah s2. Teman-teman s2 sangat berbeda dengan teman s1. Mereka sudah punya kehidupan sendiri di luar kuliah. They're so distant, dan kadang juga tidak terlalu nyambung. Sementara teman-teman s1 pada sibuk kuliah apoteker semua. I still remember how it felt, deepest loneliness. Tahap keempat setelah saya lulus s2, 6 bulan di rumah. Namun ini tidak seberat tahap-tahap sebelumnya, cos I have my warm family. Terakhir adalah baru-baru ini. Let me tell you an implicit story.

Ketika berbicara tentang emosi, saya selalu tidak ingin menceritakannya secara explicit. I met a boy yang sejak pertama kali kenal saya sudah tertarik. He's kind of similar to me. I see part of myself on him. Ketika pertama kali ketemu, saya merasa sudah klik, walaupun belum muncul rasa suka. Mungkin karena dia juga INTP (versi 16personalities), though I'm doubt whether he's true intp or not, karena saya suruh ngisi k2c, dia males. He's 3 yrs younger than me. Then, so it goes. Pada tahap awal semuanya berjalan dengan baik, I often share something to him, curhat, apapun itulah. I always happy to listen to his story too, bcs somehow i can relate well to him, karena kemiripan personality. He's super introverted boy, with a pure awkwardness and clumsiness. You know, when I'm writing about this, I'm still smiling right now, remembering his awkward gesture. Wkwk. Nevermind. But in the end, we can't continue, untuk alasan yang tidak bisa diceritakan haha. Then here it goes. The loneliness haunted my life again. Deep deep and creepy. Sometimes I cant fall asleep, though sleeping is my hobby. I feel like I need someone to listen to my story. I need someone to comfort me. But I cant tell anyone. Nggak tau kenapa, tapi sulit rasanya menceritakan my private life dengan orang lain. Bukan berarti saya nggak punya teman. Saya punya cukup teman (tidak banyak), yang sering curhat dan bahkan meminta saran kepada saya. Tetapi tidak sebaliknya. Saya nggak nyaman menceritakan banyak hal ke orang lain. Prefer menulis, walaupun pada akhirnya toh cerita ini juga dibaca oleh orang lain, dan mungkin secara tidak sengaja, dia akan membacanya. Balik ke topik, sekarang saya sedang di rumah, dan that loneliness seems reduce slowly. Saya mulai berpikir untuk bekerja di tempat yang tidak jauh dari rumah saya.

Sekian my quarter life crisis. I thought i'm attacked by baper again because of the last part of my story. Sebenarnya masih banyak yang ingin ditulis. Kita lanjutkan saja ke judul selanjutnya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?