INI MIMPIKU, APA MIMPIMU?
Setiap orang berhak bermimpi. Asal
mimpi itu baik pastinya. Bagiku, mimpi adalah sesuatu yang membuatku tetap
hidup. Ketika aku tidak punya mimpi, sama saja duniaku mati. Atau aku yang
tidak hidup. Tepat seperti hewan: makan, tidur, defekasi. That’s all. Ketika
kita memiliki mimpi, ada tujuan yang ingin kita capai, dan itu yang membuat
semangat menjalaninya. Mimpi itu terlalu luas, terlalu banyak definisinya.
Sebenarnya, yang saya ingin bahas disini adalah mimpi dalam bentuk cita-cita.
Cita-cita saya sejak kecil selalu berubah-ubah dan sangat dipengaruhi
lingkungan.
Cita-cita pertama yang saya punya
dan saya sadari adalah bekerja sebagai buruh pabrik yang mengemas obat di
industri obat. So weird. Waktu itu saya usia 5-6 tahun sedang menonton berita
di TV bersama mbak saya yang berumur 11-12 tahun. Dengan polosnya saya berkata,
“Ih aku pengen kerja di situ”. Langsunglah, spontan mbak saya tertawa dan hal
itu diceritakan ke orang tua saya. Pokoknya, semua orang menertawakan itu.
Cita-cita kedua saya menjadi
seorang professor. Waktu itu umur saya 9 tahun. Saat itu saya tidak tahu bahwa
professor adalah sebuah gelar -_- . Saya
pikir professor = ilmuwan. Haha.. waktu kecil saya sering membaca serial
tokoh-tokoh dunia, dan saya suka. Ketika itu saya lupa alasan saya memiliki
cita-cita tersebut. Yang jelas bagi saya ilmuwan itu keren.
Cita-cita saya berikutnya mulai
berubah-ubah selama masa SMP-SMA. Karena saat itu adalah masa-masa ketika saya
keranjingan komik dan novel, khususnya detektif, maka cita-cita saya saat itu
tidak jauh dari sana. Detektif, agen FBI, ahli forensik, psikolog, kriminolog,
dokter RSJ, alchemist. Cita-cita majemuk tapi masih dalam bidang yang sama.
Wajar sih, saya membaca komik Detective Conan sejak umur 7 tahun. SMP saya
keranjingan dengan novel Sherlock Holmes. Saat itu juga saya sudah mulai
membaca buku-buku psikologi yang tingkat rendah, maksudnya yang masih bisa
dibaca orang awam, khususnya buku tentang otak. Sejak SMP saya tertarik sekali
dengan benda yang bernama otak. Mulai SMA keadaan semakin parah. Bacaan saya
mulai mengerikan. “Kasus Pembunuhan Munir”, “Di Balik Pikiran Para Pembunuh
Berantai”, terus semacam ensiklopedia tentang pikiran dan otak. Di situ ada
pembahasan tentang kesadaran, tidur, dan sebagainya. Dan tiap harinya semakin
tertarik tentang dua hal itu, Psikologi dan Forensik.
Sebuah kegalauan datang ketika
kelas XII dan hendak memutuskan mengambil jurusan apa. Ketika ditanya, saya
spontan menjawab psikologi (karena forensik masuknya kedokteran dan saya tidak
mau kuliah di FK, detektif dan agen FBI mustahil; biarlah menjadi imajinasi
saya). Sebenarnya lebih ingin masuk kriminologi UI, tapi saya yakin
seyakin-yakinnya tidak akan diijinkan oleh orang tua saya. Ketika saatnya
konsultasi dengan Guru BK dan saya mengatakan saya ingin masuk psikologi,
tanggapan dari guru saya negatif. Intinya, psikologi bukan bidang yang
menjanjikan, sayang sekali orang dengan kapasitas saya masuk jurusan yang
menurut beliau ecek-ecek (baca: remeh). Di rumah, hal yang sama terjadi. Ibu
saya merespons, “Kuliah di psikologi tu mau jadi apa kamu?”. Ayah saya lebih
parah, “Mau kuliah di psikologi? Orang kamu aja cueknya kayak gitu.” Yap,
langsung pupus, down, entahlah mau bilang apa lagi. Lalu, pada akhirnya saya
mengambil jurusan farmasi karena terinspirasi dari novel “Alchemist” yang
ditulis Michael Scott dan komik “Fullmetal Alchemist”. Bodoh sih, dalam
bayangan saya waktu itu farmasi itu keren, ilmuwan banget, bisa bikin ramuan
macem-macem (kalo di novel ramuan hidup abadi). SAYA TERJEBAK OLEH FANTASI SAYA
SENDIRI. Selain ambil jurusan farmasi, saya juga mengambil Sekolah Teknik
Elektro dan Informatika (STEI) dan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD)
karena saya suka fisika, khususnya kelistrikan. Dan saya saat itu berpikir lebih
mending saya masuk STEI/FTMD daripada farmasi karena kata teman saya, farmasi
itu ilmunya hafalan sekali. Yahhh, saya sama sekali tidak jago menghafal.
Daan luar biasa saudara-saudara,
saya berada di farmasi sekarang. Haha.. (ironi). Merasa terjebak tetapi tidak
menyesal. Mengapa? Well, karena inilah dunia yang dekat dengan cita-cita saya.
Tidak sama memang, tapi dekat. Bayangkan kalo saya berada di STEI/FTMD, mimpi
saya yang bertahun-tahun itu lenyap. Oke saya akui saya belum bisa move on.
Hingga sekarang saya masih menyimpan mimpi itu. Mimpi itu tidak pernah padam,
bahkan membara. Forensik, yap, suatu saat semester 3 lalu saya sedang bercerita
dengan teman saya tentang mimpi saya yang satu ini. Spontan dari arah belakang,
seorang dosen saya (idola saya) menimpali sambil lalu, “Farmasi masih bisa kok
masuk forensic”. Wow, langsung, saya terpukau dan semangat. Bahkan, saya sampai
sekarang juga membaca buku-buku forensik.
Psikologi, dunia yang saya senangi
dari SMP. Selama kuliah, saya menjadi tahu bahwa bagian dari psikologi yang
paling saya senangi adalah fokus pada neuroscience, tentang otak,
bagian-bagiannya dan pengaruhnya terhadap sikap, kepribadian, perasaan, dan
kesadaran. Saya semakin tergila-gila dengan hal ini. Dan saya sudah memutuskan
dengan bulat. Saya ingin S2 Jurusan Neuroscience di luar, khususnya Eropa dan
Amerika. Bukan saya tidak cinta dengan negara sendiri. Tapi, memang di
Indonesia belum ada Perguruan Tinggi yang membuka jurusan ini. Sementara di
Asia, di Jepang sekalipun, Neuroscience masih belum begitu berkembang. Saya
tidak peduli negara apapun itu, yang saya inginkan adalah saya ingin mendalami
Neuroscience. That’s all. Simple. Sederhana bagi saya, tapi belum tentu
sesederhana itu bagi orang lain. Well, saya begitu mencintai ilmu ini. This is
my passion. Really really my passion. Kenapa saya dengan yakin mengatakannya?
- Saya suka tanpa pengaruh orang lain. Maksudnya, seringkali kita suka sesuatu karena orang yang kita idolakan menyukainya. Saya tidak mempunyai background keluarga yang ngerti tentang ilmu ini. Psikologi aja tidak, apalagi Neuroscience. Dan saya tidak memiliki teman, atau kenalan yang begitu menyukainya. Secara alami, sejak kecil setiap ke toko buku atau perpustakaan, saya selalu tertarik membaca buku-buku tentang otak.
- Neurosciencelah yang membuat saya hidup. Saya itu orang yang sangat sangat suka tidur, like sleep along the day. Namun, dia bisa membuat saya tidak tidur semalam ketika memikirkan keajaiban itu semua.
- Dia yang membuat saya bertahan di farmasi hingga sejauh ini. Karena ada salah seorang dosen di farmasi yang juga memiliki ketertarikan dengan hal ini. Apapun bahasannya, pasti ada selipan-selipan tentang hal itu.
- DIa membuat adrenalin saya meningkat dengan stimulus sekecil apapun. Ketika ada orang yang membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungan dengan bidang ini, walaupun persinggungannya sekecil apapun, langsung spontan saya hidup lagi. Kalau di kelas juga seperti itu. Ketika saya mengantuk mendengarkan ceramah dari dosen yang berbicara tentang farmasi, farmasi, dan farmasi, ketika si dosen tiba-tiba menjurus kesana, langsung terbangun tiba-tiba.
Aku tidak tahu apakah kamu
jodohku atau bukan. Aku tidak tahu apakah aku akan mendapat kesempatan untuk
mengenalmu secara mendalam atau tidak. Yang jelas, ingatlah satu hal ini. Aku
menyukaimu sudah sejak lama sekali, sekarang masih menyukaimu, dan sampai
kapanpun akan menyukaimu. Tak peduli apakah kau akan menelantarkanku dan
menolakku atau tidak.
I LOVE YOU, NEUROSCIENCE.
That’s still being my hope to get scholarship -> Graduate Program in Neuroscience
Comments
Post a Comment