ME VS PEOPLE
"Don't too attach to people!!!"
Kalimat tersebut menjadi salah satu penghias di dinding kamar saya. Don't take it wrong! Bukan hanya sekadar penghias, actually. Tulisan-tulisan yang saya tempelkan di dinding kamar saya adalah reminder. Frase di atas diambil dari serial BBC favorit saya, "Sherlock Holmes!". Sebuah peringatan yang dilontarkan sang kakak, Mycroft Holmes, kepada adiknya, Sherlock Holmes. It means a lot for me. I mustn't too attach to people! It's just toxic! And here I now, realize, that I recently too attach to people around me.
https://s3.amazonaws.com/perrynoble-images/perrynoble/blog/categories/pn.category.people.2x1.jpg |
I love people, just the way they are. I love observing them. Every person was born unique, and I can see their uniqueness in my eyes. That's why I love listening their story. Saya benar-benar menikmati obrolan dengan orang lain. My sincerity make some of introverted people compelled to tell their stories, even secrets. Brankas berjalan. Tiap orang yang bertemu dan mendapat kesempatan ngobrol berdua dengan saya untuk waktu yang jangka panjang, entah kenapa kemudian menjadi terbuka dengan saya. Bahkan orang asing yang baru saja bertemu. Bahkan orang asing yang belum pernah bertemu dengan saya. What a strange world!!!
Beberapa komentar yang sering saya dapatkan dari teman saya. "Ya ampun Neli, kamu ngerti aku banget." "Itu maksudku. Tapi aku gak menemukan kata kata yang tepat sampai kamu mengatakannya." "Entah kenapa aku merasa nyaman banget ngobrol sama kamu. Aku bisa menceritakan apapun kepadamu. Bahkan hal-hal yang nggak bisa aku omongin ke orang tuaku maupun pacarku." (Nb: ini bukan flirting ya). Ada lagi satu teman saya yang lebay dan dia bilang ngefans sama saya. "Neli, it's your ability. Ini gift nel. Gak semua orang bisa dengan tulus mendengarkan curhatan orang lain. Dan ngasih solusi. Aku merasa beruntung menjadi temanmu." (ambil tissue, sesenggukan). Nggak, bercanda ini mah. Sesedih apapun, saya anti nangis di depan orang lain. Dan lebih-lebih, saya amat jarang sedih. Terakhir sedih, ketika ayah meninggal. Mungkin sekarang juga sedikit sedih, untuk alasan yang nanti akan saya ceritakan.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, saya jarang melibatkan emosi. Emotionless. Walaupun mereka sedih, marah, kesal, gembira, saya tidak akan merasakan emosi yang mereka rasakan. Saya dengan mudah membaca emosi mereka, bahkan yang implisit sekalipun. Tapi, saya tidak akan terbawa mereka. Empati afeksi saya tidak berkembang, sementara empati kognitif saya berkembang dengan baik dan di atas rata-rata manusia.
DAN PADA AKHIRNYA?
Dan pada akhirnya saya terbawa. Bagi saya, berinteraksi dengan orang lain adalah candu. And now, I'm craving for talking or listening. Padahal 23 tahun saya jalani secara ansos, soliter, independen. I don't need other people. Tetapi, sekarang saya mencari mereka. It's dangerous. Emotion is really me weakness, guys! Bahkan sempat pingin banget meng-shutdown sistem limbik saya.
Kemudian, tiba-tiba saya menyadari, bahwa sebentar lagi saya harus meninggalkan Bandung, tempat saya menghabiskan masa muda saya, kehidupan kampus yang sangat berkesan. Dan seketika dada saya sesak. Saya tidak siap meninggalkannya. Bukan Bandung yang membuat saya jatuh cinta. Tapi, orang-orang yang ada di dalamnya. Bandung pernah menjadi harapan besar bagi saya, walaupun pada akhirnya harapan itu harus hilang seketika. Alasan saya memilih Bandung, ITB, sebagai tempat untuk menempuh pendidikan sarjana dan master saya, sesungguhnya amat sangat absurd.
"Bandung adalah awal. Tapi, apakah Bandung akan menjadi akhir? Apakah Bandung akan menjadi tujuan hidupku?"
Lima tahun di Bandung saya belajar banyak. Sangat banyak, hingga sulit bagi saya untuk meluapkan memori saya ke dalam tulisan. Hanya perasaan sesak. Maaf karena saya harus melanggar aturan saya sendiri. Saya terikat dengan manusia! Di bandung saya menemukan banyak hal. Sahabat, keluarga, teman diskusi, guru, murid. Dan saya merasa terikat dengan mereka. Rasanya saya tidak ingin meninggalkan Bandung. Entah sejak kapan saya merasa terikat dengan Bandung. Semuanya terjadi begitu cepat. Pada awalnya, saya tidak menyukainya. Culture Shock. Homesick. Yang saya pikirkan setiap hari adalah, "Berapa lama lagi saya bisa pulang?". Namun ketika semuanya hampir berakhir, justru saya bertanya, "Kapan lagi saya akan menginjakkan kaki di kota kembang?"
Flashback teringat pertama kali saya menjalani OSKM tahun 2011. Masa-masa TPB yang saya habiskan untuk berorganisasi. Pergi pagi, pulang tengah malam. Bahkan pernah pulang pagi juga. Hanya untuk rapat. Teringat hari-hari yang saya habiskan di ruang kuliah hanya untuk numpang tidur (jangan ditiru). Pada saat itu juga, saya menemukan rumah yang baru, Kantor Berita ITB. Entah bagaimana ceritanya saya bisa lolos seleksi Kantor Berita ITB yang sangat ketat. Bahkan saat itu, saya menjadi anggota termuda dari KB. Memang kalau kalian tahu, dunia saya dipenuhi keajaiban yang menentang hukum probabilitas. Teringat juga saat harus latihan gamelan atau menari untuk pementasan PSTK. What a beautiful experience.
Pada tahun kedua, ketika benar-benar merasakan 'Farmasi yang sesungguhnya', mual muntah, sampai ingin pindah jurusan ke Teknik Mesin. Sampai pergi konseling ke Psikolog ITB, tapi tidak membantu banyak. I deal it with myself. Jalani saja. Lama-lama terbiasa.
Tahun ketiga, saya mulai beradaptasi. Mulai mengurangi frekuensi tidur di kelas. Tapi tetap saja masih deadliners, sering terlambat masuk kelas, sering absen. Walaupun saya tipikal mahasiswa bandel, namun saya anti dengan kecurangan. Tidak pernah sekalipun plagiat laporan, mencontek, maupun titip absen. Sampai-sampai saya pernah mengulang mata kuliah, bukan karena nilai saya jelek, tetapi absen saya <80%. Absurd!!! Teringat pula ketika menjelang ujian, saya dan teman-teman, seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya, belajar SKS!! Sistem Kebut Semalam. Kami akan menginap di salah satu kost teman, kemudian belajar bersama semalam suntuk. Seringkali tanpa tidur sedetik pun. Bahkan saya ingat, salah satu teman saya, sampai harus belajar sambil berdiri, supaya tidak ketiduran. Saya sendiri pernah tidak tidur, kemudian berangkat ke kampus subuh-subuh dengan membawa jam weker kesayangan, kemudian tidur sebentar di sekretariat Kantor Berita karena takut tidak bisa bangun, sementara ujian sendiri dilaksanakan jam 7 pagi. Sampai heran sendiri, kok zaman-zaman itu, saya masih hidup ya? Kok saya masih bisa waras dan tidak sakit mental ya? Atau jangan-jangan selama ini saya tidak pernah waras?
Puncak kegilaan saya adalah ketika saya memutuskan diputuskan mengambil Fasttrack. Can you imagine it? Semester 7, kuliah, praktikum seabrek (praktikum 3 hari rasa setiap hari), Tugas Akhir 1, pegang jabatan Manajer Peliputan di KB, Pemimpin Redaksi di Rhamnosa, persiapan lomba, dan tentu saja ditambah dengan harus ambil mata kuliah S2. Udah mau mati rasanya. Sleep deprivation. Berasa zombie. Dan tahu-tahu saya udah lulus aja, walaupun perjuangannya mati-matian untuk lulus dari Kampus Gajah ini. Kalau harus diceritakan, udah jadi 1 buku. Dan tahu-tahu, satu tahun berikutnya saya lulus lagi, dengan titel yang baru. Ajaib memang kehidupan saya. Saya saja masih bingung apakah ini nyata, atau sekadar mimpi.
Back to topic. Bagaimana mungkin saya tidak terikat dengan mereka, sementara tiap hari saya menghabiskan waktu dengan mereka? Mendengar keluh kesah mereka. Menjalani suka duka bersama mereka. Senasib dengan mereka. Facing the same problems, and solving them together. Bersama-sama menemukan kepingan puzzle dan menyusunnya ke dalam board masing-masing.
Dan pada akhirnya, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih untuk semua orang yang telah mengisi kehidupan saya yang monoton dan membosankan ini. Terima kasih juga telah membantu membentuk saya yang sekarang ini, melawan 'the power of gene' yang telah membentuk saya sebelumnya. Hope one day, we'll meet again dengan cerita-cerita yang baru. Don't stop believing me as your partner, your sincere friend, your safety box. I'll miss you.
And for myself, cepatlah move on nak!!
Comments
Post a Comment