MASA – MASA KELABU DAN GALAU (SKOLIOSIS PART II)
Menangis berhari-hari. Respon yang muncul sejak saya divonis harus
operasi. Kedua orang tua saya hampir akan memaksa saya untuk operasi. Saya hanya
menangis dan menangis di malam hari, dan tidak ada seorang pun yang tahu. Saat
itu sekitar H-10 lebaran. Orang tua saya juga galau berat => operasi: risiko
mati atau lumpuh, tidak operasi: risiko paru dan jantung. Pada akhirnya, mereka lebih pro ke operasi mengingat
dampak yg dapat ditimbulkan jika saya tidak dioperasi, yaitu kapasitas paru-paru
mengecil, jantung tidak optimal, dan katanya kalau melahirkan susah.
Hari demi hari berlalu saya jalani dengan jiwa yang kosong,
berasa udah gak lama kontrak saya dengan Allah di dunia ini. Everyday searching
everything tentang penyakit ini. Dan psikologis saya semakin buruk. Lagi-lagi menangis. Saran saya: Jangan googling tentang penyakit, karena semuanya lebay. Ada yang meninggal
lah, lumpuhlah, ada yang pen yang udah diimplantasi tiba-tiba sekrupnya lepas
di dalam. Berasa nonton film thriller favorit saya, SAW. Dan ada perubahan mendadak dalam diri saya.
Saat itu saya jadi alim mendadak. Ibadah solat tepat waktu, tadarus, nurut ama
orang tua, berhenti menjahilin adek adek. Karena saat itu saya merasa inilah bulan
Ramadhan terakhir saya. Bahkan, saat itu saya pernah bermimpi bahwa saya
meninggal setelah membaca Al-Qur’an. Ketika saya terbangun, saya kecewa karena
itu hanya mimpi. “Selalu ada hikmah di balik musibah” => sisi positif dari skoliosis.
Akhirnya, dengan pertimbangan repot dan masih bisa ditunda,
saya tidak jadi dioperasi saat itu. Lebaran telah usai, mulai aktivitas di SMA
lagi seperti biasanya. Kesibukan mempersiapkan UN membuat saya lupa dengan
penyakit ini. Sementara semuanya berjalan dengan normal, ayah saya juga tidak
tinggal diam. Beliau mencari-cari pengobatan alternatif lain. Yang satu pake metode berdoa, yang satu lagi pake metode aliran
listrik. Semuanya itu saya jalani. Tetapi NIHIL. Gak ada perubahan. Mungkin karena
saya tidak percaya pengobatan seperti itu. Dan saat itu, teman-teman yang tahu
penyakit saya hanya beberapa orang, teman dekat saya saja. Di depan mereka,
saya terlihat tidak berbeda dengan yang dulu. Masih tetap orang yang santai. Di
belakang mereka, sering muncul rasa iri. Tepatnya, bukan rasa iri. Bukan
berarti saya tidak senang melihat teman-teman saya normal. Tapi, saya ingin
normal seperti mereka. Itu saja.
Pertanyaan yang sama terulang kembali. “MENGAPA HARUS SAYA?”
“MENGAPA BUKAN ORANG LAIN” selalu seperti itu. “APA SALAH SAYA?” Well, setelah
bertahun-tahun mencari jawabannya, saya baru menemukannya. “Karena saya
spesial. Itu berarti Allah memperhatikan saya. Banyak kelebihan yang saya
punya. Apa penyakit orang yang diberi kelebihan? SOMBONG. Dan apa obatnya? KELEMAHAN. Dan lagi
speciality yang saya punya ini belum tentu bisa diterima oleh orang lain.
ORANG-ORANG TERTENTU saja yang bisa tahan dengan speciality ini. Oleh karena
itu teman-teman sesama skolioser, kita itu orang-orang terpilih yang sudah
ditakdirkan untuk memiliki “ini” seumur hidup kita karena Allah memandang kita
lebih kuat dari orang-orang normal lainnya. Dan inilah tugas kita di dunia.
Empowering orang lain dengan pengalaman kita. “Ni lho, walaupun kita punya
kelemahan, tapi kita bisa survive.
"Kita bukan hanya seonggok daging dengan tulang yang tidak sempurna. Kita punya kontribusi untuk orang lain dengan kelebihan kita."
SELALU ADA HIKMAH DI BALIK MUSIBAH => dan scoliosis mendewasakan saya.
Isu operasi ini muncul kembali setelah UN beres. Saat itu, saya sudah diterima di IT Telkom, beasiswa penuh. Setidaknya, uang yang tadinya untuk masuk perguruan tinggi bisa dialokasikan untuk operasi. Selain itu, IT Telkom sendiri pendaftarannya masih lama karena masih ada beberapa gelombang. Namun, saya belum ingin operasi. Saya ingin menunggu hasil SNMPTN undangan saya.
Alhamdulillah, saya diterima di Farmasi ITB. Minusnya, di ITB ada sistem
matrikulasi bagi yang diterima lewat jalur undangan. Jadi, kami masuk lebih
dulu (saat itu bulan juli awal sudah masuk). Dan tidak ada kesempatan untuk
operasi. Pending lagi. Hal yang cukup berat saya rasakan setelah di ITB. Jadwal
kuliah yang padat, kegiatan organisasi yang super banyak membuat saya
kelelahan. Rata-rata sehari saya menghabiskan waktu 12 jam di kampus. Bahkan
tidak jarang pulang di atas jam 10 karena ada rapat atau latihan. Itu semua
membebani punggung saya. Banyak-banyak istigfarlah.
Bahkan, semester 2 ada mata kuliah Olahraga. Tesnya adalah
berlari. Oke, halangan lagi. Dengan berbekal foto rontgen, saya mohon izin
kepada dosen untuk tidak ikut tes lari. Sebagai gantinya, beliau memberikan
saya tes jalan. Alhamdulillah, ada jalan. Namun, saya jadi agak kecewa ketika
nilai mata kuliah Olahraga saya hanya BC. Itu adalah indeks paling jelek selama
3 semester ini. Namun, ketika dipikir-pikir lagi cukup fair sih. Karena mereka
yang berlari saja belum tentu nilainya lebih baik dari BC, masa saya yang hanya
berjalan saja minta lebih. Dan itu sesuatu yang tidak saya sesali, karena itu
bukan karena usaha saya yang buruk, melainkan karena faktor yang tidak bisa saya usahakan.
Semester 2 berlalu. Saya jalani semuanya dengan
sebaik-baiknya, walaupun rasa pegal tiap hari menghampiri saya. Halangan kedua
adalah Ospek jurusan farmasi. Sebenarnya, tidak terlalu berat jika dibandingkan
dengan ospek jurusan lain. Namun, tetap berat bagi penderita scoliosis.
Beratnya, ketika kita disuruh berdiri berjam-jam sambil dites materi
dengan membentak. Pertama, ketika
berdiri lama, punggung dan kaki saya tidak kuat. Kedua, efek psikologis
berpengaruh terhadap munculnya rasa nyeri. Tidak hanya itu saja, para peserta juga
sering dimobilisasi dengan perintah BERJALAN CEPAT. Padahal, saya selalu
ngos-ngosan saat berjalan cepat, karena kapasitas paru-paru saya mengecil. Yang
saya kecewakan pada ospek ini adalah kurang mengertinya panitia medik terhadap
penyakit yang diderita oleh peserta. Saat itu, saya hanya diberi pita kuning
pertanda penyakit yang sedang, sehingga saat dimobilisasi tidak dipisahkan
sendiri. Ketika yang lain agak berlari, ya saya juga harus ikut berlari kecil.
Setelah OSJUR ini saya dipesan ayah ibu saya untuk segera
menyelesaikan semua urusan dan segera pulang untuk operasi. Padahal saat itu
saya pegang dua jabatan di organisasi. Pertama, ketua Open House Unit
Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan (OHU PSTK-ITB) dan pegang amanah di
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) OHU ITB. Semuanya langsung saya tinggal
dan pasrahkan kepada orang lain. Keputusan saya sudah bulat.
"Operasi atau menderita seumur hidup. Sakit sesaat untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan."
Bersama ayah saya, saya langsung membuat janji operasi dengan Prof Respati. Yap, diputuskan waktunya. 2 juli 2012, hari eksekusi. –To be continued-
Comments
Post a Comment