THE EXECUTION DAY (SKOLIOSIS PART IV)
Malamnya, waktu itu tanggal 2
Juli dini hari, saya masih sempetnya nonton final euro, Spanyol vs Italy. Dan
idola saya, Fabregas, menyumbang gol. Wowow.. Gara-gara itu jadi telat bangun. Malu-maluin, dibangunin perawat yang mengantarkan baju rumah
sakit. Baju pesakitan itu berwarna hijau, lengan pendek, panjangnya
selutut, dengan tali rumbai-rumbai di belakang. Serem banget waktu liatnya.
Sempet galau banget gak pingin pakai
dan udah mau tanya ama perawatnya, “Boleh gak sih kalau pake pakaian saya
sendiri?” Konyol banget ya. Kalo pakai baju
itu berasa pesakitan atau tahanan di penjara. Bahkan sampai sekarang
saya masih menyebut baju itu
baju pesakitan. Haha..
Setelah mandi, dengan berat hati saya terpaksa memakai baju tersebut. Pintu diketuk lagi, dan ternyata deng deng
deng.... dua orang perawat
datang. Salah satunya berkata, “Diinfus dulu ya mbak..”
Pasrah… Masih trauma dengan pengalaman di masa lampau. Dulu waktu umur 13, saya
pernah diinfus dan perawat gagal nemuin urat nadi saya sehingga musti dicoblos jarum 3x. Okelah,
dengan pasrah saya
menyerahkan tangan kiri saya.
Tapi di sini perawatnya canggih, gak butuh waktu lama buat nyari urat nadi
saya. Dan brek brek brek, langsung
diselotip banyak kayak mumi. Dan itu udah aman banget, mau jungkir balik ya gak
masalah, insya Allah gak bakalan berdarah.
Dari informasi yang saya
dapat dari para perawat, operasinya jam 9. Tapi, jam 9 lewat nothing. 10 lewat nothing happened.
Setengah 11 till nothing happened. Orang tua saya udah dateng. Semakin tidak jelas saja nasib saya ini. Bahkan sempat kepikiran
jangan-jangan jatah saya udah kelewat. Adzan dhuhur pun sudah berkumandang, namun nasib saya
masih gak jelas. Bagaikan telur di ujung tanduk !!! Saat ayah
saya sholat dhuhur ,
terdengar suara ketukan. Dan
ternyata sekarang nasib saya
sudah jelas, haha..
Muncul beberapa perawat yang datang untuk mengantar saya ke ruang operasi. Saat itu yang mengantar saya ke ruang operasi adalah kakak saya.
Sedang kedua orang tua saya akan menyusul. Sepanjang perjalanan, saya hanya mengumandangkan dalam hati istigfar, ayat kursi, asmaul husna, dan
berdoa apapun yang saya bisa.
Di sini saya udah mulai gak selow lagi. Bahkan terselip perasaan cemas dan khawatir bahwa saya akan segera menghadap Sang Khaliq. Namun perawat yang baik hati itu terus
mengajak ngobrol untuk membuat saya rileks. Dan akhirnya saya dipindahkan ke ambulans dan digiring
ke ruang operasi yang terletak di bangsal wijaya kusuma.
Saya saat itu sempat mengenakan kerudung yang pada akhirnya
dicopot di luar ruang operasi. Di ruang operasi (semacam ruang transisi), saya terbaring mengadu nasib. Pasrah lebih tepatnya. Berdoa, sholawat,
dzikir, berulang-ulang. Saat itu doa saya:
Ketika tengah asyik berdoa, ada ibu-ibu yang entahlah dokter atau perawat yang menggantikan kerudung saya dengan penutup kepala untuk menutup rambut. Berikutnya muncul mas-mas dengan pakaian operasi yang menanyakan tentang gejala gejala yang saya rasakan sebelum operasi.
"Ya Allah berikanlah keselamatan dan kelancaran operasi pada hamba-Mu ini. Seandainya saya selamat, jangan sampai saya jadi lumpuh atau degenerasi fungsi tubuh yang lainnya. Aamiin.."
Ketika tengah asyik berdoa, ada ibu-ibu yang entahlah dokter atau perawat yang menggantikan kerudung saya dengan penutup kepala untuk menutup rambut. Berikutnya muncul mas-mas dengan pakaian operasi yang menanyakan tentang gejala gejala yang saya rasakan sebelum operasi.
Setelah setengah jam terkatung-katung, akhirnya ruang operasi yang
sebenarnya terbuka. Muncul sesosok manusia menyeret saya ke dalam. Serba putih, namun saya tidak bisa melihat wajahnya. Kemudian tubuh
saya diangkat dan dipindah ke meja operasi. Terlihat
ada seorang dokter/perawat membawa
suntikan yang berisi i think
obat bius (morfin atau apalah itu).
–To be continued-
Beliau bertanya, “Berat badannya berapa?” Saya menjawab “43”, lalu semuanya gelap. Pekat.
–To be continued-
Comments
Post a Comment