EFEK SISTEM PERUBAHAN KURIKULUM 5 TAHUNAN, “KURIKULUM GADO-GADO”
(Ini merupakan sebuah artikel hasil wawancara saya dengan salah seorang Dosen Matematika mengenai perubahan kurikulum ITB 5 tahunan yang sekarang sedang hangat-hangatnya bagi anak Farmasi ITB, terkait isu adanya Semester Pendek Wajib untuk mata kuliah yang dihapus atau diturunkan semesternya.)
Perubahan kurikulum melupakan
ritual wajib ITB yang dilakukan lima tahun sekali. Sistem yang telah diterapkan
sejak dulu ini diciptakan untuk mengantisipisasi perkembangan zaman. Pada tahun
ini, 2013, sudah waktunya bagi prodi-prodi di ITB untuk memperbarui lagi
kurikulumnya setelah kurikulum terakhir diperbarui pada tahun 2008. Perubahan
dan keadaan dinamis selalu mendatangkan pro dan kontra dari berbagai pihak yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan perubahan tersebut. Sistem yang
sudah ada selama ini sebagai warisan dari pendahulu kita dirasa kurang efektif
untuk diterapkan menurut salah seorang dosen Matematika ITB, Dr. Hendra Guawan.
“Kalau ditanya pendapat saya,
terus terang 5 tahun itu terlalu sering. Dan terlalu banyak korbannya,” aku
Hendra. Menurut Hendra, untuk strata S1, lima tahun merupakan waktu yang
terlalu singkat. Sementara untuk S2, hal itu bukanlah sebuah permasalahan. Saat
perubahan kurikulum dilakukan lima tahun sekali, hanya ada dua angkatan yang
benar-benar merasakan kurikulum yang murni. Sementara, sisa tiga angkatan yang
lain akan mendapatkan “kurikulum gado-gado”, begitu istilah yang digunakan oleh
Pak Hendra. Seperti misalnya kurikulum 2008 yang lalu. Angkatan 2008 dan 2009
akan mendapatkan kurikulum 2008 sepenuhnya. Sementara, angkatan 2010-2012 akan
mendapatkan kurikulum campuran. Jumlah ini belum termasuk angkatan 2008 dan
2009 yang tidak lulus tepat waktu.
Saat perubahan kurikulum dilakukan lima tahun sekali, hanya ada dua angkatan yang benar-benar merasakan kurikulum yang murni. Sementara, sisa tiga angkatan yang lain akan mendapatkan “kurikulum gado-gado”, begitu istilah yang digunakan oleh Pak Hendra.
Pak Hendra menambahkan bahwa dalam pembuatan kurikulum, aspek fleksibilitas sebenarnya sudah diperhitungkan. Hal ini tercermin dengan adanya mata kuliah pilihan. Seperti misalnya di FMIPA dan SF, disisipkan mata kuliah pilihan kapita selekta yang kontennya lebih umum dan bisa mengantisipasi perubahan zaman. Sedangkan mata kuliah wajib sifatnya lebih tetap dan tidak harus terlalu sering diubah karena tidak terlalu terkait dengan perubahan zaman, seperti misalnya fisika atau kimia dasar untuk mahasiswa Tahap Persiapan Bersama. Kalau pun memang dirasa perlu, perubahan tersebut dapat diakomodasi pada perubahan yang sifatnya makro dan frekuensinya tidak terlalu sering seperti saat ini.
Mcdonal
(1965) menyatakan bahwa kurikulum merupakan rencana kegiatan untuk menuntun
pengajaran.
”Kurikulum itu kan rencana. Kalau diganti di tengah, berarti itu kan rencananya
tidak tuntas. Sudah punya rencana awal, tiba-tiba dibelokkan di tengah jalan
itu bagaimana?” tutur Pak Hendra.
Siklus Lima Tahunan untuk Mikro dan Sepuluh Tahunan untuk Makro
Menurut Pak Hendra, sistem ini
harus diperbaiki dan dimodifikasi. Beliau mengusulkan bahwa pembaharuan ini
tetap dilakukan lima tahun sekali. Namun, yang perlu dicermati bahwa ada aspek
mikro dan aspek makro yang harus dievaluasi. Ada baiknya, lima tahun sekali
digunakan untuk mengevaluasi aspek mikro, yang merupakan implementasinya,
seperti ruang kelas, jumlah pengajar, jadwal, dll. Sedangkan untuk aspek makro,
yang merupakan bangunan kurikulum, seperti mata kuliah, SKS, dll dilakukan
pembaruan 10 tahun sekali. Jadi, prakteknya, lima tahun pertama digunakan untuk
mengevaluasi aspek mikro, sedang lima tahun berikutnya untuk mengevaluasi aspek
mikro dan makro.
Evaluasi dan pembaruan yang
selama ini rutin dilakukan lima tahun sekali dirasa kurang representatif. Tim
evaluasi kurikulum ITB dibentuk 1,5 tahun sebelum diadakan perubahan kurikulum.
Artinya, kurikulum terakhir baru berjalan selama 3,5 tahun. Pertanyaannya,
berapa banyak mahasiswa yang lulus dalam selang waktu ini? Lantas, jika belum
ada lulusannya, bagaimana tim evaluasi ini akan bekerja mengevaluasi kurikulum
yang sudah berjalan? Akhirnya evaluasi ini seringkali menjadi sangat bias dan
terkesan mengada-ada. Sementara itu, jika sistem yang ditawarkan oleh beliau
diberlakukan, akan ada keuntungan yang lebih baik. Lima tahun pertama untuk
mengevaluasi aspek mikro. Hal ini bukan masalah karena aspek mikro yang
merupakan implementasi, dapat dilihat dari keseharian. Waktu lima tahun
merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk mengevaluasi aspek ini. Sementara
itu, aspek makro dilakukan evaluasi tiap 10 tahun sekali. Misalnya, tim
evaluasi kurikulum dibentuk pada tahun ke-8. Saat itu, sudah menghasilkan empat
lulusan yang dapat diamati. Jika dihitung secara matematis untuk membandingkan
siklus lima tahun dan sepuluh tahun sekali ini, akan tampak perbedaannya. Pada
sistem lima tahunan, akan ada tiga angkatan yang menjadi korban “kurikulum
gado-gado”. Tiga dari lima angkatan yang berarti sebanyak 60%. Artinya, lebih
banyak korban. Sedangkan pada sistem sepuluh tahunan, tetap saja ada korban.
Hanya saja persentasenya lebih kecil, yaitu 3 dari 10 angkatan atau sebesar
30%. Selain itu hasil evaluasi juga lebih representative karena sampelnya ada 7
angkatan.
Oleh karena itu, ada baiknya sistem perubahan kurikulum lima tahunan yang sudah berjalan sekian lama tidak dijalankan mentah-mentah. Sistem yang ada harus dikaji lagi baik buruknya. Seandainya diperlukan, maka tidak selamanya sistem harus dihapuskan, melainkan cukup dimodifikasi dengan harapan akan dihasilkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Sumber gambar: http://alvyanto.blogspot.com/2010/04/perkembangan-kurikulum-indonesia-dari.html
Comments
Post a Comment