BERBAGI TENTANG 'MENJADI SEORANG JURNALIS'
Menjadi jurnalis sedikit banyak telah mengubah hidup saya, telah mengubah beberapa karakter saya.
Saya menjadi lebih gampang untuk memulai percakapan dengan orang baru, berbasa-basi, walaupun kadang garing. Memang hingga sekarang banyak yang masih berpendapat bahwa saya pendiam, tapi ini jauh lebih mending daripada saya yang dulu. Dengan sering mewawancarai orang dari berbagai macam background, sedikit banyak saya berlatih untuk bisa menggunakan bahasa yang tepat kepada orang yang tepat. Bagaimana berbicara formal dengan dosen, berbicara hangat kepada karyawan atau pegawai, dan berbicara santai kepada mahasiswa.
Selain itu, saya bertemu dengan berbagai karakter unik. Ada yang berbicara panjang kemana-mana. Sebaliknya, ada yang ditanya panjang 2-3 kalimat, jawabannya hanya satu kata. Ada yang sok sibuk, ada yang sibuk beneran sampai harus berkali-kali ganti jadwal wawancara. Ada yang berkomitmen memenuhi janjinya, ada juga yang lupa kalau sudah berjanji untuk wawancara (saking sibuknya).
Awal-awal menjadi jurnalis sangat awkward memang. Apalagi pengalaman pertama saya mewawancarai narasumber, adalah narasumber dengan tipe: ditanya 3 kalimat, jawabannya satu kata. Luar biasa berkeringat saat itu. Lama-lama semuanya terasa menyenangkan. Datang ke acara-acara, meliput, bertanya ke panitia, membuat berita, semua itu menyenangkan.
Pekerjaan jurnalis itu sesuai dengan kepribadian saya yang introvert. Berkutat di balik laptop, mengumpulkan berbagai macam informasi, merangkumnya dalam bentuk yang mudah dipahami ketika dibaca. Pekerjaan ini sangat cocok untuk introvert dengan tipe pembosan. Introvert itu ada 2 macam: senang rutinitas dan pembosan. Kalau introvert yang senang rutinitas, dia akan cocok dengan pekerjaan administratif, seperti membuat laporan keuangan, mengurus surat menyurat, dll. Sedangkan jurnalis itu pekerjaannya introvert yang pembosan. Ketika bosan menulis, saya akan keluar, melihat dunia, mencari inspirasi dari orang-orang super, datang ke acara-acara (biasanya sendirian, bolang), barulah balik ke laptop, dan menulis lagi.
Menjadi jurnalis mendidik kita untuk menjadi mandiri dan independen. Jelas harus mandiri, karena kita kadang harus meliput acara malam-malam, sendirian, kedinginan. *ups salah fokus*. Intinya mah, jadi cewek yang tangguh dan gak boleh manja, gak boleh tergantung orang lain.
Menjadi jurnalis juga harus bisa melobby, melobby orang penting untuk mau diwawancarai, melobby petugas keamanan. Nah untuk yang satu ini saya masih agak susah sih. Harus bisa SKSD (sok kenal sok dekat). Beberapa teman reporter saya ada yang sudah ahli di bidang ini, sampai ditraktir sama dosen, dihadiahi novel Dunia Sophie pula. Saya sih pernah, ditraktir juga sama dosen di suatu kafe, dan itu 'so awkward', krik krik..
Menjadi jurnalis itu harus peka dan kreatif. Saat berjalan sendirian, melihat kondisi sekitar, selalu ada inspirasi yang dapat dijadikan suatu berita. Saat masuk perpustakaan, penjaga loker perpus ngomong, "Yang tasnya kecil lokernya barengan sama temennya ya neng. Lokernya udah mau abis." Langsung kepikiran di benak saya, "Lho ini kan baru hari ketiga masuk kuliah, kok perpus udah seramai ini?" Nah itu bisa dijadikan berita tentang mahasiswa ITB yang sangat hobi nongkrong di perpus alias belajar.
Menjadi jurnalis itu harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tukang kepo, stalker, daripada kerjaannya ngepoin orang di media sosial aja, mending jadi jurnalis deh. Kepoin narasumber, lagi ngapain. Kepoin rektor lagi rapat, lapi tanda tangan MoU, lagi jalan-jalan keluar negeri, lagi halal bihalal.
Menjadi jurnalis tanggung jawabnya besar. Harus menyampaikan informasi yang benar, bukan informasi sampah yang hanya mengundang kontroversi belaka.
Menjadi jurnalis sama saja belajar untuk tidak egois, untuk mempedulikan orang lain. Saat kita memberitakan sesuatu, kita dituntut untuk memiliki cara pandang sebagai pembaca, bukan penulis. Kita harus membayangkan apakah orang yang membaca berita kita paham dengan apa yang kita tulis. Apalagi tantangannya ada ketika kita membuat berita ilmiah. Sementara pembaca kita berasal dari kalangan umum. Maka, kita harus menyederhanakan bahasa kita agar mudah dicerna orang lain. Nah, ini yang membuat neli yang sekarang lebih tidak egois dari neli saat jaman SMA.
Jurnalis itu adalah pendengar yang baik. Ini dapat dipastikan. Mereka terbiasa mendengarkan orang lain, curhatan narasumber, ada yang ceritanya sampai ke mana-mana. Dan kami, sebagai jurnalis, kami setia di sini mendengarkan curhatan narasumber dengan tetap fokus kepadanya, bukan malah memikirkan tugas kuliah yang belum selesai.
Tetapi ada satu kejelekan jurnalis. Kami terlalu terbiasa berbicara face to face. Kami ahli berbicara secara personal, tetapi jangan suruh kami berbicara di depan umum. Kalau saya, langsung jadi gagap kalau ngomong di depan umum. Saya adalah presenter yang baik sejak SD, SMP, SMA. Namun begitu menjadi mahasiswa, selalu susah untuk berbicara di depan publik. Pakai acara nervous segala.
Salah satu benefit lain menjadi seorang jurnalis adalah, menjadi lebih mudah dalam menulis laporan praktikum. Menulis formal itu merupakan makanan sehari-hari. Jadi, dalam menulis laporan tidak butuh waktu lama untuk menuangkan pikiran, mengolah data, dan menyajikannya dalam bentuk paragraf dengan bahasa yang enak dan EYD yang benar. Apalagi kalau kepepet, powernya langsung keluar semua. Selain itu, blog ini ada juga karena saya menjadi jurnalis. Saya menjadi lebih sering menuangkan pikiran saya di blog ini daripada bercerita kepada orang lain yang belum tentu didengar juga haha.
Ada suatu euforia yang besar dengan menjadi jurnalis. Euforianya tidak hanya terjadi saat meliput suatu berita atau wawancara narasumber. Euforianya adalah ketika berita sudah selesai ditulis, sudah diedit, dan sudah dipublish. Wow, rasanya luar biasa. Susah untuk diceritakan. Mungkin saat itu pula, bisa diukur, endorphin di otak berada dalam keadaan yang sangat tinggi.Terakhir kata Coldplay sih, "But if you never try, you'll never know." Kita tidak tahu apa yang kita sukai sebelum kita mencobanya. Menjadi jurnalis adalah salah satu penghias yang indah masa-masa kuliah saya di kampus biru.
maju terus embak..
ReplyDeleteArtikelnya keren kak! Kalo lulus sma, aku juga mau jadi jurnalis, tapi sempet ragu karena sifat introvert. Setelah baca artikel ini, rasanya seneng deh hehe^^
ReplyDeleteSemangat!!
Kalo udah*
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteSemangat dek. Just follow your passion. Sukses ya sebagai jurnalis, titip pesen tolong perbaiki dunia jurnalisme indonesia yg udah susah dibedain mana berita yg bener dan salah :)
Delete