DEDIKASI UNTUK AYAH

Ayah.
Apa itu ayah? Seseorang yang aku sebut dengan panggilan 'papa'.
Sosok ayah yang pertama kali terpikir ada di benak saya adalah, 'nrimo dan ngalah'.

Maaf, gak ada kata dalam bahasa indonesia yang menggantikan verb jawa ini.
Hal yang paling saya kagumi dari ayah: beliau rela memberikan apapun untuk anak-anaknya, rela ngalah demi anak-anaknya. Selama anak-anaknya jadi orang yang baik, selama anak-anaknya sehat, pintar, dan solih solihah, itu saja sudah cukup. Gak perlu hidup mewah, gak perlu gadget canggih dengan harga jutaan untuk ia pamerkan ke rekan-rekannya. Beliau tidak pernah peduli.

Ayah, seseorang yang selalu menegaskan pentingnya moralitas dalam kehidupan. Kami, enam bersaudara ini adalah anak-anak yang secara akademis di atas rata-rata, selalu dapat peringkat di dalam kelas. Tapi, yang perlu dicatat, ayah tidak pernah mempersoalkan kalau kami mendapatkan nilai jelek. Pol-polan cuma ditertawakan atau disindir, karena hobi ayah memang bercanda. Berbeda halnya dengan beberapa orang teman saya yang selalu dapat nilai bagus karena motivasinya adalah agar tidak dimarahi ayahnya. Bahkan ada yang kalau nilainya jelek, ayahnya akan memukulnya.

Tetapi, untuk yang namanya nilai moral, bagi ayah adalah sebuah harga mati. Ketika ada dari kami yang tidak jujur dan melakukan perbuatan tidak terpuji, ayah bisa sangat berang dan mengerikan. Suatu contoh, waktu saya mau masuk ITB, yang seharusnya uang gedungnya adalah 55 juta, diberikan opsi permohonan subsidi. Saat itu, ibu saya menawarkan opsi subsidi 13,5 juta saja. Terus saya menawarkan opsi lagi, "Kenapa nggak 0 rupiah saja, pa? Kalau memang nilai raporku bagus, pasti tetap keterima juga kok," tutur saya polos, dan karena saya tahu kondisi keuangan keluarga saya sedang tidak baik. Kata ayah, "Papa masih sanggup nyari-nyari kok kalau 13,5 juta. Biarkan yang 0 rupiah, yang memang lebih nggak mampu dari keluarga kita." Luar biasa (melting). 

Ayah itu seseorang yang saya pandang sangat sociable, sama sekali bukan seperti saya yang penyendiri dan ansos. Setiap dia bertemu dengan orang yang baru ia kenal, orang itu seperti bisa langsung 'klik' dengan ayah, mulai dari orang dengan kelas sosial paling bawah, seperti tukang sapu, hingga pejabat tinggi bisa nempel dengan ayah. Ayah adalah tokoh terkemuka yang disegani banyak orang, bukan karena powernya, tapi koneksinya. Coba saja, menjelang pemilihan mau itu walikota, caleg, apapun namanya, rumah jadi sering kedatangan tamu yang meminta restu dari ayah, sampai ayah bingung. Ada suatu kejadian menarik waktu ayah mengantarkan saya ke agen bis untuk berangkat ke bandung. Di situ ia ngobrol-ngobrol dengan sepasang suami istri yang bekerja di salatiga tetapi asli bandung. Ngobrolnya bisa panjang dan ke mana-mana. Waktu di bis, si ibu tua itu bilang ke saya, "Ayah adek itu ramah sekali ya." dan saya cuma bisa ketawa. Ini adalah salah satu skill ayah yang ingin saya pelajari.

Ayah adalah orang yang toleran. Ia anak seorang pemuka agama (kakek saya) dan bertahun-tahun hidupnya ia habiskan di pesantren. Beliau juga sering diundang sebagai pembicara-pembicara di pengajian. Tetapi, beliau bukan orang yang fanatik. Beliau adalah seseorang yang religius, tapi bukan fanatik. Bahkan beliau adalah anggota dari forum kerukunan umat beragama di Salatiga. Bagi beliau datang ke sebuah acara natalan itu haram atau tidak adalah relatif, bergantung pada niat. Kalau niatnya untuk menghormati demi terciptanya kerukunan umat beragama, dan menghilangkan kecurigaan, kenapa nggak? Suatu diskusi menarik antara ayah dan saya pada suatu siang. Cuplikan yang paling saya ingat adalah sebagai berikut, "Tau nggak mbak, seumpama manusia di dunia ini tidak diberikan kitab suci dan rasul sama sekali, manusia pada dasarnya tetap akan sadar bahwa ada yang lebih hebat dan lebih berkuasa dari ia. Itu yang kita sebut Tuhan, Allah. Sudah naluri manusia untuk merasakan bahwa bumi dan seisinya ini tidak terbentuk sendirinya, ada yang menciptakan,". Saya hanya mengangguk-angguk. Dan pada saat ini pun saya tahu bahwa sebenarnya yang bertanggung jawab atas 'naluri ketuhanan' itu adalah sepenggal gen dalam kromosom kita yang sengaja Allah sisipkan agar kita berpikir bahwa Allah itu ada.

Selain jago di bidang agama, ayah juga menguasai ilmu-ilmu sosial lain. Politik adalah bidang lain yang ia kuasai. Sampai sekarang saya tidak tahu dari mana ayah belajar ini. Selain itu, hukum, sejarah, psikologi, ayah juga menguasai. Hmm, nampaknya saya sekarang tahu dari mana saya suka dengan psikologi. Sepertinya memang sudah diwariskan dari ayah saya. Tapi, jangan sampai minta ayah untuk mengajarkan matematika, apalagi IPA. Klepek-klepek.

Paling seru itu kalau nonton berita sama ayah. Tiap berita ia kupas dan komentari. Komentar yang ia cetuskan itu seringkali 'out of the box' sesuatu yang gak disinggung dalam berita tersebut. Dia selalu punya cara berbeda dalam memandang dunia, dalam menilai orang, dalam membaca jalan pikir orang terutama aktor-aktor politik yang penuh dengan intrik dan drama. Kata ibu, ayah itu aktivis waktu kuliah, jadi lulusnya rada lama. Tipe mahasiswa yang gak pernah belajar, tapi nilainya bagus dan bisa ngajarin orang. Hmm nampaknya mirip sekali dengan adik laki-laki saya.

Ayah itu misterius. Ayah bukan orang yang bisa menyatakan rasa cintanya terhadap ibu atau anak-anaknya. Hanya dengan perbuatan. Ayah orang yang gengsian. Seringkali ayah bilang ke anak-anaknya, itu mama kamu dibantu, kasihan udah capek. Atau berbagai bentuk lainnya, yang berpihak pada ibu tanpa sepengetahuan ibu. Ayah adalah sosok yang dari luar cuek, tapi sebenarnya ia tahu. Hanya pura-pura tidak tahu Ia peka. Ia sangat lihai membaca pikiran dan perasaan orang lain. Sepertinya skill ini sedikit diturunkan kepada saya.

Beberapa momen yang saya ingat betul di kepala saya. Waktu saya menjadi juara I dalam lomba teladan tingkat kota saat SD, ayah saya langsung mengantarkan saya ke department store dan membelikan banyak baju buat saya. Saya sering mendapatkan momen hanya berdua dengan ayah, karena saya sering keluar kota dan menginap di kota lain untuk ikut lomba dan pelatihan. Ayahlah yang selalu mengantarkan saya. Saya juga sering keluar ke kota lain untuk berobat, dan ayah pulalah yang mengantarkan saya.

Ada satu hal yang saya lihat akhir-akhir ini dari ayah saya. Ayah saya bertambah tua. Sudah banyak beruban dan banyak kerutan di wajahnya. Sudah banyak penyakit yang menyerangnya, hingga Oktober lalu ayah saya harus menginap di rumah sakit. Yang saya lihat akhir-akhir ini adalah ayah sering tidur, sering tidak enak badan. Kemarin lalu ayah saya sempat bertanya, "Mbak, obat yang bisa bikin gak pikun itu apa ya? Papa akhir-akhir ini jadi sering lupa". Saat itu sebenarnya saya miris, "Ya Allah, ayah saya sudah mengalami masa-masa degeneratif. Sehatkanlah Ayah saya, Ya Allah." Saya paling senang kalau saya kedapatan tamu anak kecil, keponakan-keponakan saya yang usia balita. Ayah saya sangat senang dengan anak kecil, saat itulah saya melihat ayah sangat bahagia.

Sejak saya masuk ITB, ayah menjadi segan dengan saya. Ini yang saya nggak suka. Seperti ayah saya merasa "Ini bukan gadis kecilku lagi yang masih harus aku perintah ini itu. Ini bukan gadis kecilku lagi yang perlu aku ajarin." Sepertinya ayah menjadi merasa bahwa saya lebih pintar dari beliau.

Ayah, izinkan aku belajar menjadi sepertimu. Belajar untuk mendahulukan kepentingan keluarga di atas kepentingan diri sendiri. Belajar untuk tidak egois dan belajar untuk mengalah. Belajar untuk bisa beramah tamah dan toleran terhadap orang lain. 

Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?