THAILAND... YIN DEE TEE DAI ROO JAK

"Ucapan adalah doa". Saya tidak pernah menganggap serius pepatah ini sampai akhirnya saya mengalaminya sendiri. Sekitar Juni 2013 lalu saat saya pulang ke salatiga, saya melihat adik saya mengenakan kaos bergambar gajah, dan saya berkomentar. "Ih kok lucu, beli di mana?". "Ini kan oleh-oleh papa dari Thailand," timpal adik saya. "Lah kok aku gak dibeliin?"  Terus Ibu saya menjawab, "Sebenarnya dibeliin, tapi dikasihin ke dek kiki (sepupu saya) yang kebetulan pas banget berkunjung saat ayah saya pulang dari Thailand. "Yaah, yaudah deh, besok-besok aku bakal beli sendiri." Saya mengucapkannya dengan guyon, not taking seriously. Sampai suatu hari, perkataan ini menjadi nyata.

Sekitar bulan November lalu, Sekolah Farmasi ITB membuka apply untuk program semacam visitasi ke Chiang Mai University, dan saya mencoba untuk meng-apply. Selang bebeberapa hari kemudian, saya beserta 15 orang lainnya terpilih untuk mengikuti program ini. Kepergian kami didampingi oleh 3 dosen pembimbing. Oleh Bu Sophi, tim ini diberi nama "Dream Team to Chiang Mai", sebuah nama yang mengandung harapan dan optimisme. Dengan berjalannya waktu dan asal usul yang complicated, tim ini lebih lanjut berganti nama menjadi nama yang lebih aneh bagus lagi, "Buricak Burinong". Jika Anda ingin tahu artinya, silakan cari di google, haha. Pada artikel ini, saya akan menceritakan secuplik pengalaman yang menurut saya menarik.

Chiang Mai vs Bangkok, 11-12 dengan Bandung vs Jakarta

Chiang Mai merupakan kota terbesar ke-2 di Thailand setelah Bangkok. Chiang Mai merupakan Ibu Kota dari provinsi Chiang Mai. Berbeda dengan Bangkok yang super busy city, Chiang Mai adalah kota yang adem ayem. Tidak terlalu crowded, dan juga tidak terlalu kampung. Kota ini memang ditujukan untuk menarik turis-turis berkunjung ke Thailand. Di kota ini, saya bersama rombongan sempat berkunjung ke tiga tempat wisata, Maesa Elephant Camp, Orchid Park, dan Elephant Poopoopaper Park.

Tercermin dari namanya, Elephant Camp menyajikan pemandangan gajah di mana-mana. "Alah, kalau mau lihat gajah kan tinggal ke bonbin sebelah ITB?" Nope, tidak seperti di bonbin, di sini kamu bisa menyaksikan gajah-gajah yang well trained. Pernah lihat gajah memeluk orang dengan belalainya? Memakaikan topi kepada pelatihnya? Bermain sepak bola dan basket? Yang lebih ekstrem lagi, melihat gajah MELUKIS dengan lukisan yang jauh lebih bagus dari lukisan saya? Spontan melihat pemandangan ini, saya langsung teringat dengan Neuroscience.

"When you love something, you'll always think about it. Everything always remind you about it."

Oke, saya bisa menerima fakta bahwa gajah dapat dilatih untuk memeluk orang, atau bermain bola dengan brain-reward system, I guess. Jika dia berhasil melakukannya, dia akan mendapatkan makanan. Hal semacam itu pun sudah dipraktikkan dalam melatih hewan lain, seperti topeng monyet. Tetapi, bagaimana dengan melukis? Bagaimana pelatih mengajarkannya untuk melukis? Apakah lukisannya adalah lukisan dikte? Artinya, pelatih pada awalnya menggerakkan belalainya membentuk pola lukisan, dan melatihnya dengan pola yang sama setiap hari? I don't know, itu cara yang paling masuk akal yang ada di pikiran saya. Gajah bukan hewan yang cukup cerdas. Rasio jumlah neuron per berat tubuhnya masih jauh di bawah rasio jumlah neuron per berat tubuh manusia.

Bagi pecinta anggrek, seperti salah satu dosen saya (Bu Lia), berada di Orchid Park mungkin seperti berada di surga. Karena saya tidak terlalu suka bunga, dan lebih senang melihat hamparan padang rumput, maka saya tidak terlalu menikmati berada di objek wisata ini. 

Objek wisata ketiga adalah Elephant Poopoopark, di mana feses dari gajah diolah menjadi kertas, yang kemudian dari kertas ini dijadikan berbagai macam kerajinan tangan, seperti pembatas buku, notebook, sampul paspor, dll. Tentunya sebelum dijadikan kertas, ada proses cleaning feses terlebih dahulu. Di sini pengunjung juga dapat menghias barang-barang tersebut sendiri. And I made this for my love, Sherlock.

Di Bangkok, tidak ada yang cukup berkesan dalam ingatan saya. Gedung pencakar langit everywhere, mall everywhere, traffic jam, thats all. Kami cukup beruntung karena tiba di Bangkok pada tanggal di mana festival annual berlangsung, dan kami sempat menikmatinya walaupun hanya sebentar.

Farmasi dan Pendidikan Farmasi di Thailand, Patient Care Oriented

Di Chiang Mai University (CMU), program S1 plus profesi Farmasi berlangsung selama 6 tahun. Makanya, jangan protes, di Indonesia lebih enak, hanya 5 tahun saja. Penjurusan dilakukan di tahun ke-4, dan pembuatan experimental project (skripsi) dilakukan di tahun ke-4. Sedangkan di tahun ke-5, mereka akan mengikuti internship di apotek, rumah sakit, dan industri, seperti program profesi apoteker di Indonesia. Poin yang menarik adalah untuk mendapatkan sertifikat resmi sebagai apoteker, seseorang harus mengikuti ujian yang diberikan dalam bahasa Thai. Ini artinya, dengan berlangsungnya AFTA, maka apoteker asli Thailand akan terlindungi dan tidak tergusur oleh keberadaan apoteker dari luar Thailand.

Thailand sedang bergerak ke arah patient care oriented. Dibandingkan dengan Indonesia, sistem monitoring Adverse Drug Reaction (ADR) dan Pharmacovigilance-nya jauh lebih maju. Bahkan, di Rumah Sakit di Thailand, pasien diberikan kartu khusus untuk riwayat alergi dan ADR.

Berbeda dengan SF ITB yang 70% nya masuk ke dalam jurusan Sains dan Teknologi, 70% mahasiswa farmasi di Mahidol University akan masuk ke farmasi kliniknya. Artinya, sejak di pendidikan, minat mahasiswanya memang ke arah pharmaceutical care.

Hal lain yang membuat saya salut dengan Universitas Mahidol adalah dedikasinya terhadap masyarakat. Univ Mahidol memiliki Drug Information Center (DIC) untuk menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat mengenai obat. Selain itu, mereka juga menerbitkan newsletter mengenai obat dan juga penelitian yang dapat dibaca oleh publik (tetapi menggunakan bahasa Thai). Univ Mahidol juga membuat database lengkap di web mengenai tumbuhan obat yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Hebatnya, database ini diupdate setiap hari. Farmakope Herbal milik Thailand juga terakhir direvisi tahun lalu. *jadi malu*. Univ Mahidol juga memiliki studying room yang dibuat dengan style 'ansos', dan juga memiliki prayer room, sehingga memudahkan mahasiswa muslim untuk beribadah.

Food & Coffee Culture

Makanan Thai? Asaam.. Beberapa makanan Thai tidak cocok di lidah saya karena terlalu asam, tapi sebagian besarnya, delicious. Sebagian besar menggunakan bahan dasar seafood, dengan rempah-rempah yang cukup kuat. Tetapi berhati-hatilah, pork everywhere. Teman-teman saya yang diperbolehkan makan pork pun, merasa Thailand adalah surga pork haha. Jadi buat yang muslim, setiap membeli makanan, tanyakan terlebih dahulu, apakah di tempat tersebut menjual pork atau tidak, dalam bahasa Thai, tanyakanlah, "Mai au moo?" Ini spelling benar atau tidak ya? Haha

But, if you're coffee lover, Thai is also a heaven. Kamu bisa menemukan kopi-kopi enak di jalanan, yang diseduh langsung dari biji kopinya. Maksudnya, di-grind terlebih dahulu. Sementara di Indonesia, kamu harus meluangkan waktu datang ke coffee shop untuk menikmati kopi yang benar-benar kopi. Dan saya pernah memesan original Thai coffee di pinggiran jalan seharga 25 baht (10 ribu) dengan rasa kopi coffee shop yang seharga 20 ribu-an. So, If I live here, I can't stop consuming coffee, haha.

Thai People, Yin dee tee dai roo jak (Nice to Meet You)

Layaknya orang Timur, orang-orang Thailand sangat baik. Setiap saya bertanya arah suatu tempat, mereka akan meluangkan waktu untuk menjawab, walaupun bahasa Inggris mereka kacau. Sempat ada ibu-ibu di jalan yang bahkan menggambarkan peta untuk menuju ke tempat tersebut. Saya juga sempat makan di food court yang es teh tawarnya itu gratis, dan bisa direfill berkali-kali, plus semangkanya juga gratis. "Why people here are so kind?". Kemudian Mint menjawab, "Hmm I think they're so kind just in front of you. When they're behind you, they are different. LOL" Walaupun dia menjawab seperti itu, saya tetap menganggap bahwa orang Thai adalah orang yang baik.

Rombongan kami juga sempat membuat masalah dengan teman dari CMU yang mengawal kami ke tempat-tempat wisata. Karena kami terlalu asyik berbelanja dan foto-foto, timeline menjadi mundur, dan terlihat dari wajahnya bahwa ia tampak kesal. Tetapi di malam harinya, ia justru bilang ke saya, "Hey, Im so sorry for rushing you guys. Can you tell that to your friends?" Terus melting, dan bilang balik kalau seharusnya kamilah yang meminta maaf, bukan dia.

Oya, saya mendapat kenang-kenangan dari teman saya, Alisa. Dia menuliskan nama saya dalam bahasa mie goreng, maksudnya bahasa Thailand. Sebagai gantinya, saya menuliskan namanya dalam bahasa mie rebus, maksudnya aksara Jawa, haha.


Satu hal yang saya sayangkan dari Thailand adalah pergaulannya. Di sini terkenal dengan 'lady boy'nya, atau kami biasa menyebutnya cewek berjakun, yang di Indonesia, perkumpulan kaum-kaum menyimpang ini (LGBT) masih di-reject.

Interpersonal Relationship, Between Gengs and Lecturers

Saya selalu senang dengan kegiatan-kegiatan yang baru, yang mengumpulkan sekelompok orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, atau sebatas kenal untuk menjalani aktivitas bersama-sama hingga mereka solid. Dan ini terjadi pada gengs Buricak Burinong. Bagi teman-teman yang sejurusan dan seangkatan, wajar sih kalau sudah mengenal hingga borok-boroknya. Tetapi dengan teman-teman yang berasal dari jurusan lain, bahkan berbeda angkatan, perjalanan ini mengungkapkan banyak hal yang sebelumnya tidak terungkapkan. Begitu juga dengan para dosen, yang tadinya tampak terlihat jaim, ternyata rame dan asyik juga saat diajak bercanda.

"When two people share their secret, their relationship is never the same before."

Perjalanan ini memberikan banyak kesempatan kepada kami untuk saling berbagi pengalaman, berbagi sejarah, dan berbagi mimpi. Yang sebelumnya kami hanya sekedar mengenal nama dan wajah, hubungan kami menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Selalu menarik mendengarkan orang lain bercerita, membuat saya belajar bahwa setiap orang dilahirkan dengan pikiran yang unik. Sebagai contoh, saya menemukan 2 keanehan pada teman saya, berkaitan dengan "memory" dan "dejavu" yang menarik minat saya. Jika saya mendapatkan izin dari mereka, maka saya akan menuliskan kisah mereka di blog ini pada sesi yang lain.

Daniel Kahneman, seorang psikolog membedakan antara "experiencing selves" dan "remembering selves", yang secara ringkas menjelaskan bahwa ingatan emosional akan suatu kejadian tidak selalu sama dengan kejadian aslinya. I just hope, that "remembering selves" about this trip, this moment, will be much much happier than "experiencing selves".



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR