NASIB ANAK-ANAK OJEK PAYUNG



Pernah melihat ojek  payung? Saya beberapa kali melihatnya di kota di mana saya belajar, Bandung. Di kota asal saya, Salatiga, saya belum pernah menemukan lapangan kerja seperti ini. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya pernah beberapa kali melihatnya. Namun hal ini belum pernah menyentuh hati saya sedalam hari ini. Lokasinya, ada di depan BEC Bandung. Saat itu, saya hendak pulang dari BEC. Hujan turun sangat deras dan alhamdulillah saya kebetulan membawa payung. Namun, saya memutuskan untuk menunggu sampai agak reda. Pikir saya, daripada masuk angin. Di depan BEC, ada banyak orang juga yang seperti saya. Namun, rata-rata dari mereka bahkan tidak membawa payung. Lalu, di luar sana, di bawah hujan, beberapa anak kecil usia 6-14 th menawarkan ojek payung. Tak hanya anak laki-laki, tapi juga perempuan. Semuanya basah kuyup. Tanpa alas kaki. Badan menggigil, bibir sedikit biru. Suatu pemandangan yang sangat mengenaskan bagi saya.

Sekilas terpikir pertanyaan di benak saya, “Bukankah ojek payung itu mereka mengantarkan orang untuk dipayungi?” Beberapa saat setelah saya memikirkan itu, datang jawaban di depan mata saya. Sepasang suami istri memakai jasa ojek payung. Dan saya kaget luar biasa. Alih-alih memayungi kedua orang tersebut, si anak itu justru meminjamkan payungnya kepada sepasang suami istri. Sementara, anak tersebut mengikuti pasangan itu di belakangnya dengan agak berlari di tengah hujan yang turun sangat deras. Dan berapa yang dibayar pasangan itu untuk anak tersebut? Dua ribu rupiah dari depan BEC hingga parkiran. Angka yang sangat kecil bagi kita semua. Spontan saya merinding, bukan karena dinginnya hujan saat itu, melainkan melihat pemandangan tragis itu. Bukan seperti pengemis dan pengamen yang mukanya bisa dibuat sok melas, tubuh yang menggigil dan bibir yang membiru adalah sebuah respon otonom tubuh yang tidak bisa dibuat-buat.

Kenyataan yang terjadi saat itu menjadi sebuah tamparan bagi saya pribadi. TOO MUCH COMPLAINT. Kerjaan kita semua apa sih? Pelajar? Mahasiswa? Pekerja kantoran? Ibu rumah tangga? Well, itu semua ribuan kali lipat lebih beruntung dari mereka. Dan seberuntung itu kita masih bisa-bisanya mengeluh? Tugas banyak, ngeluh. Ada kuis, ujian, UTS, UAS? Langsung update status, tweet isinya keluhan dan hujatan buat si dosen, alih-alih belajar. Ujian dapet C aja langsung bete, sedih. Responnya lebay. Update status dan nge-tweet lagi, nyalahin dosen yang pelit. Woy, kita belajar di mana sih? Di kamar? Perpus? Ruang kelas yang nyaman? Ruangan yang sehangat itu, masih ngeluh? Mereka hujan-hujanan lho, buat nyari uang dua ribu perak. Dan mereka ngeluh nggak sih? Mereka bisa ngeluh ke siapa? Berapa umur kita? Di atas 17? Udah dewasa dong? Tapi tingkahnya masih kayak anak kecil, masih manja, masih rewel. Mereka umurnya berapa? Di bawah 15. Tapi mereka jauh lebih mandiri dan dewasa daripada kita.

Lalu, berapa sih budget yang kita keluarkan buat hal-hal yang tidak penting-penting banget? Buat fashion, nonton, makan mewah, karaoke, billiard, dll? Sementara bagi mereka, cari uang lima ribu perak aja susahnya minta ampun. Kita rela mengeluarkan uang puluhan, ratusan, hingga jutaan ribu buat melakukan hal-hal itu? Sementara, buat ngasih mereka lima ribu aja rasa-rasanya tangan ini susah buat digerakkan.

Pernah nggak sih ngebayangin kalau kita tidak terlahir dari keluarga yang beruntung seperti saat ini? Gimana kalau kita terlahir dari keluarga yang seperti mereka? Mau apa kita? Boro-boro bisa kuliah, bisa SMA aja udah alhamdulillah banget. Pernah mikir nggak sih apa yang ada di benak mereka? Apakah mereka pernah pingin bisa sekolah di ITB? UI? UGM? Apakah mereka pernah punya cita-cita yang tinggi? Jadi dokter? Presiden? Pengusaha sukses? Atau jangan-jangan keinginan mereka sederhana aja, punya baju baru yang layak? Pingin makan steak sekali aja. Pernah nggak sih mereka iri sama kita? Pernah nggak sih mereka menyalahkan keadaan, menyalahkan nasib yang menimpa kita? Seperti kita yang selalu aja berdalih dengan sejuta alasan kalau kerjaan kita nggak beres. Karena inilah, karena itulah. Mereka tidak punya pilihan. Benar kan?

Kita terlahir dari keluarga yang mana, kita tidak bisa memilih? Kalau mereka bisa memilih, mereka tentu ingin terlahir dari keluarga yang berada, berpendidikan. Well, inilah yang namanya takdir. Oleh karena itu, mustinya kita sadar untuk bersyukur kepada Allah berkali-kali lipat. 
Satu takdir saja, yaitu kelahiran kita, bisa membuat perbedaan yang nyata antara nasib kita dan mereka. Walaupun nasib mereka kurang beruntung di dunia, mudah-mudahan nasib mereka akan lebih baik di kehidupan yang selanjutnya, karena kesabaran mereka untuk menjalani nasib yang menimpa mereka.
Sedih ketika melihat orang kesusahan di depan kita, namun kita tidak bisa menyelamatkan mereka dari kesusahan itu.

Sumber foto: http://metro.news.viva.co.id

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

SURVIVAL IN ITB WITH MY SCOLI (SKOLIOSIS PART VIII)

SEMINAR, AKHIR CERITA TUGAS AKHIR II

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!