RASA SAKIT, SEBUAH NIKMAT DI BALIK MUSIBAH
Rasa sakit bagi sebagian besar orang dianggap menyebalkan. Beragam cara dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa sakit. “Yang penting rasa sakitnya hilang” sering menjadi prinsip yang dianut oleh orang-orang awam. Yang orang tidak ketahui adalah rasa sakit merupakan sinyal peringatan yang dikeluarkan oleh tubuh untuk memberitahu manusia bahwa ada yang tidak beres dalam tubuhnya. Oleh karena itu, tujuan dari pengobatan seharusnya bukanlah menghilangkan rasa sakit melainkan membereskan penyebab rasa sakit.
Seringkali orang berpikir alangkah indahnya hidup ini tanpa rasa sakit. Hidup tanpa rasa sakit adalah nikmat. Ternyata, pikiran tersebut tidak selamanya benar. Penyangkalan ini muncul dari orang-orang yang terlahir tanpa rasa sakit. Kondisi semacam ini dialami oleh seorang gadis yang bernama Ashlyn Blocker. Dia mengidap sebuah penyakit genetik langka, yaitu Congenital Insensitivity to Pain (CIP) yang membuatnya tidak bisa merasakan sakit walaupun tubuhnya terluka atau rusak. Akibatnya, kerusakan atau luka tersebut secara perlahan-lahan akan menggerogotinya tanpa ia sadari. Parahnya, sebagian besar kerusakan ini dapat berakibat fatal karena sangat berpotensi untuk berakhir dengan kematian.
Sebuah kejadian fatal pernah terjadi padanya saat ia kecil. Ia memasukkan tangannya ke dalam teko yang berisi air panas untuk mengambil sendok yang tenggelam. Dengan santainya, dia merendam tangannya untuk waktu yang lama karena dia merasa tidak ada masalah yang terjadi padanya. Dia tidak merasakan sakit terbakar seperti yang orang normal rasakan. Kejadian itu berlangsung cukup lama dan lambat diketahui oleh sang ibu. Ashlyn pada akhirnya terselamatkan setelah terlanjur mengalami abrasi kornea mata yang meluas.
Pada hakekatnya, manusia memang tidak dapat hidup tanpa rasa sakit. Dalam kondisi normal, rasa sakit merupakan sebuah sinyal yang mengingatkan manusia bahwa ada sesuatu yang sedang membahayakan tubuh. Dengan peringatan tersebut, manusia akan berupaya untuk meminimalisasikan kerusakan yang terjadi dalam tubuh tak peduli dengan apapun caranya. Seorang penderita penyakit lepra (penyakit yang juga tidak menimbulkan nyeri pada bagian tubuh yang rusak) pernah mengungkapkan betapa pentingnya rasa sakit.
“Jika aku dapat, aku akan pergi ke surga dan kembali lagi ke bumi untuk memberikan rasa sakit bagi orang-orang yang terlahir tanpa rasa sakit.”
Dalam kasus lainnya yang masih berhubungan dengan rasa sakit, ada benarnya juga bahwa rasa sakit adalah musibah. Kondisi seperti ini dialami oleh penderita fibromialgia, neuropati, dan disfungsional sirkuit nyeri lainnya. Pada penderita penyakit tersebut, alam rasa sakit berbunyi terlalu lama. Alarm rasa sakit masih menyala walaupun kerusakan atau bahaya yang ada sudah diatasi.
Sayangnya, untuk semua kasus penyakit yang telah disebutkan di atas, obat-obat bukanlah terapi yang efektif untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Obat-obat yang tersedia saat ini masih belum jelas mekanisme kerjanya. Hingga sekarang, penelitian terhadap abnormalitas ini masih terus berjalan. Dengan mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi pada abnormalitas yang berkaitan dengan rasa sakit, peneliti sekaligus dapat menemukan jalur persarafan nyeri pada orang normal. Selain itu, dengan mengungkap abnormalitas yang dialami Ashlyn, peneliti berhasil menemukan gen yang bertanggungjawab untuk abnormalitas ini. Saat gen ini bermutasi, fenotipe yang tampak adalah manusia tanpa rasa sakit. Namun, saat gen yang sama bermutasi dalam bentuk yang berbeda, fenotipe yang tampak sebaliknya, yaitu manusia dengan rasa sakit yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Para ilmuwan berharap di masa yang akan datang, bioteknologi akan mampu untuk memanipulasi gen yang mengalami mutasi kembali ke bentuk normalnya karena sejauh ini pengobatan yang dirasa paling efektif untuk menyembuhkan penyakit genetik adalah dengan mengubah gen itu sendiri.
Sumber: terjemahan dari www.psychologytoday.com dengan sedikit suntingan
Comments
Post a Comment