PENDIDIKAN INDONESIA, CERMINAN DARI KONDISI MASYARAKAT INDONESIA


“Pendidikan Indonesia Gagal”, begitulah asumsi publik terhadap kondisi pendidikan di negara kita. Kekecewaan tersebut datang manakala output pendidikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Output yang diharapkan masyarakat secara garis besar adalah pendidikan mampu mencetak manusia-manusia unggul dan berkualitas yang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi Negara Indonesia. Karena realitas yang terjadi di Indonesia seperti ini, wajar saja jika publik menilai pendidikan di Indonesia gagal.

Ahmad Muchlis, Dosen Matematika ITB, berpendapat bahwa akar permasalahan dari sistem pendidikan di Indonesia adalah disorientasi. 
“Kita sendiri sebenarnya tidak tahu pendidikan kita mau dibawa ke mana. Jadi, untuk membenahinya tentu diperlukan orientasi yang jelas dari sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi tanggung jawab bersama.”
Pendidikan formal di Indonesia selama ini lebih terorientasi pada nilai (mark) bukan nilai (value). Hal ini tercermin dengan adanya sistem peringkat di sekolah-sekolah, di mana pembagian kelas dilakukan berdasarkan peringkat siswa.  Belum lagi masalah Ujian Nasional yang menjadi penentu mutlak kelulusan siswa dua tahun lalu ke belakang. Realitas-realitas tersebut membuat pendidikan telah kehilangan esensinya. Peserta didik menjalani proses pendidikan bukan untuk mencari ilmu, tetapi mencari nilai. Alhasil, segala cara dihalalkan demi mencapai nilai yang diinginkan. “Kalau hanya melihat nilai-nilai yang berupa angka saja sih, itu bisa bersifat manipulatif. Bukan masalah yang sulit,” tutur Muchlis.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh seorang pakar pendidikan, Dan Satriana.
“Paradigma liberal pendidikan tidak hanya dalam hal uang, namun juga pola pikir. Siswa dididik untuk berpikir individualis. Siswa diajarkan untuk menjadi nomer satu, karena dengan nomer satu siswa bisa mematikan orang lain.”

Pendidikan Berkarakter: Apakah Benar Pembentukan Karakter Merupakan Tugas Pendidikan?

Muchlis berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari masyarakat. Nilai-nilai dalam pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Jika di dalam proses pendidikan, kejujuran sudah dikesampingkan, berarti kondisi masyarakatnya juga sama. Muchlis pun menyangsikan apakah pendidikan berkarakter itu ada. Apakah karakter dibentuk hanya dalam proses pendidikan? Sebagai contoh, perguruan tinggi di mana Gayus pernah bersekolah, yaitu STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Selama proses pendidikan, peserta didik dibekali ilmu yang cukup, pendidikan agama dan moral yang baik. Namun setelah lulus dari pendidikan tersebut dan masuk ke sistem pemerintahan, moralnya ikut rusak juga.

Sekarang, mari kita lihat pada komponen lain pembentuk karakter, yaitu keluarga. Apa tuntutan orang tua terhadap siswa? Nilai? Peringkat? Lulus? Kurang lebih seperti itu. Wajar saja jika karakter siswa pada akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka dari itu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan lembaga pendidikan sebagai penyebab kegagalan pembentukan karakter yang baik. Masalah pendidikan berkarakter ini memang sudah menjadi lingkaran setan yang terkait satu sama lain antara kondisi masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan.

Apa yang Dapat dan Harus Mahasiswa Lakukan dalam Dunia Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa adalah salah satu sasaran pendidikan yang tuntutan outputnya paling besar. Maka dari itu, hal termudah yang mahasiswa dapat lakukan untuk ikut berperan dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia adalah concern dengan pendidikannya sendiri. Perguruan tinggi hanya memberikan standar minimal output yang harus dicapai oleh mahasiswa. Tetapi, tidak seharusnya mahasiswa hanya stagnan pada kondisi tersebut. Mahasiswa harus memiliki output yang lebih dari standar minimal yang diberikan oleh perguruan tinggi karena standar minimal tersebut bisa jadi tidak cukup untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan di masa depan. 

“Tantangan ke depan yang dialami mahasiswa generasi sekarang akan lebih besar dari tantangan yang dihadapi oleh generasi kami. Generasi kami barangkali dapat dikatakan gagal mempersiapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi kalian. Oleh karena itu generasi kalian harus berusaha lebih keras lagi untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya,” pesan Muchlis.

Sumber: wawancara Ahmad Muchlis, dosen Matematika ITB, pemerhati pendidikan pada Bulan Desember 2011

Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR