PENYEBAB KETIDAKBAHAGIAAN (VERSI SAYA)


Pencarian kebahagian. Benarkah kebahagiaan itu dicari? Saya benar-benar tidak tahu. Saya bukanlah orang bijak, cuma anak bawang yang sedang menjajaki tahap dewasa dini. Dan mungkin inilah tahap perubahan terkontras kedua kalinya dalam kehidupan saya. Yang pertama tentu saja dari masa kanak-kanak menjadi remaja. Dan sekarang, remaja menjadi dewasa. Tidak mudah? Tentu saja. Berat? Amat sangat. Saya tidak tahu apakah orang lain juga merasakan hal yang sama karena saya bukan mind reader. Tetapi sejauh ini sudah ada dua teman saya yang mengalami kesulitan juga dalam memasuki tahap dewasa. Mungkin ini hal yang lumrah dalam proses kedewasaan.

Tahap menuju dewasa ini menjadi cukup berat dengan kedua kondisi yang membarengi tahap transisi saya. Kondisi pertama adalah jauh dengan keluarga. Anak manja, anak rumahan, yang tiba-tiba harus merantau di kota besar seorang diri. Seperti orang yang tadinya tidak bisa renang dan dicemplungkan ke laut, sehingga dia terpaksa harus berenang agar selamat. Kondisi kedua adalah operasi skoliosis yang membuat saya disable untuk sementara, membuat saya minder, dan menganggap bahwa semua orang membenci disability saya. Saking sulitnya melewati tahapan ini, hingga saya merasa telah mengidap psychological disorder, entah itu bipolar disorder, depresi, fear of negative, dan sebagainya. Tetapi, dasar anak introvert, tidak ada orang yang tahu mengenai hal ini. Dari luar tampak normal dan sehat, tetapi ketika ditilik ke dalam, penuh dengan koreng.

Ya, tahap ini saya lewati dengan penuh kecemasan, kekhawatiran, dan perasaan serba bingung. Terkadang, saya merasakan euphoria dan semangat yang tiba-tiba tanpa sebab, dan beberapa saat kemudian lesu kembali dan tidak ingin melakukan apapun. Persis seperti episode “manic” dan “depresi”.  Dan untuk pertama kalinya selama belasan tahun, saya mengidap penyakit hati, penyakit yang banyak orang dewasa merasakannya, yaitu 'tidak bahagia tanpa sebab'. Ketika mencoba menjajaki diri sendiri kembali, mungkin ada penyebab atas berbagai ketidakbahagiaan tersebut. 

  • Saya tidak hidup di zaman ini, melainkan hidup di masa lalu.
Sepertinya saya adalah jiwa anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. SAYA TIDAK INGIN DEWASA!!! SAYA INGIN MENJADI ANAK KECIL SELAMANYA!! Seringkali saya berharap ini semua hanya mimpi atau bagian dari koma saya. Bahwa saya sudah kuliah dan menapaki tingkat 4 ini hanyalah mimpi belaka. Saya berharap dapat terbangun segera dari mimpi ini dan mendapati bahwa saya masih kelas 2 SD. Dan ketika membayangkan hal ini saya sering menangis. Sepele, saya masih ingin menjadi anak kecil, saya masih ingin dekat orang tua saya, masih ingin dimanja. Saya juga sering bermimpi tentang anak kecil, wajah-wajah yang asing, tetapi bahagia. Ketika melihat lebih dalam lagi, ada dua hal penyebab dari munculnya sindrom ini. Pertama, karena sebenarnya saya tidak siap untuk dibebani tanggung jawab yang besar. Saya tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang telah saya perbuat. Saya masih ingin bersembunyi di ketiak ibu. Atau yang kedua adalah, saya tidak puas dengan masa kecil saya. Katakanlah “masa kecil kurang bahagia”. Tapi, saya merasa masa kecil saya tidak ada problem, saya bahagia.

  • Membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, dan menjadi takut dengan masa depan
Masih berhubungan dengan poin 1, saya hidup di masa lampau. Saya selalu membandingkan masa sekarang dengan masa lalu. Saya selalu membandingkan pencapaian saya di masa lampau dengan di masa sekarang, dan saya mengambil kesimpulan masa lalu saya lebih menyenangkan dari masa sekarang. Ini membuat saya berpikir bahwa masa depan saya tidak mungkin lebih bahagia dari masa lalu saya, sehingga saya menjadi tidak mau melangkah ke depan. Jadi, saya merasa bahwa kehidupan ini seperti gradien negatif, semakin ke depan, semakin tidak bahagia. Dan ini menghilangkan optimisme saya. Sebenarnya, kenyataan ini bahkan sudah terlihat dari tulisan tangan saya. Menurut grafologi, margin kiri saya yang sempit (jauh lebih sempit dibandingkan dengan margin kanan) menandakan bahwa saya adalah orang yang lekat dengan masa lalu, dan terlalu khawatir dengan masa depan.
  • Berusaha membahagiakan semua orang, walaupun saya tidak bahagia
Konkretnya, saya berusaha membahagiakan semua orang yang saya sayangi, terutama keluarga. Jadi, saya akan berusaha mewujudkan harapan-harapan mereka, walau harapan mereka tidak sama dengan harapan pribadi. Mengorbankan diri sendiri. Membakar diri sendiri. Saya juga mungkin terlalu banyak menengok ke orang lain, bukan diri sendiri. Artinya, ketika orang lain memperoleh sesuatu, saya merasa iri. Padahal kalau berada di posisi mereka, saya belum tentu bahagia. Biasa, rumput tetangga selalu lebih hijau. Jadi, seharusnya saya mulai menggali diri sendiri apa definisi kebahagiaan bagi saya. Mulai mencoba-coba, karena kita tidak akan pernah tahu sebelum mencoba. Dan saya terlalu membuka telinga saya bagi orang lain. Maksudnya, ketika kebanyakan orang mengatakan seseorang yang bahagia itu adalah orang yang seperti ini, dan saya akan berusaha mengejar itu. Akibatnya, jika hal itu tidak terkejar, saya tidak bahagia. Mungkin sudah seharusnya saya menutup telinga untuk suara-suara negatif tersebut.

Sebagai penutup, saya akan mengutip pernyataan dari salah seorang teman saya. “Jangan pernah membatasi kebahagiaan, ntar bakal sakit sendiri kalau  gak kesampaian.” 


Sumber gambar:
http://s186.photobucket.com/user/zag7734/media/amazing%20photography/macro-1.jpg.html




Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?