CERITA "INDAHNYA" TUGAS AKHIR I
"Kalau nggak mau susah, nggak usah kuliah." (Mr. M)
Hambatan? Banyak. Yang pertama, belum pernah ada di SF ITB yang meneliti tentang topik PTSD. Jadi, saat itu saya sangat buta, cuma modal pustaka, tidak ada yang bisa dimintai saran atau nasehat. Kedua, keterbatasan alat. Saya menggunakan Fear Conditioning System untuk membuat mencit model PTSD, yang kalau beli itu harganya ratusan juta. Isu ini saya bawa ke dosen pembimbing. Percakapan dengan dosen pembimbing:
N: "Feasible nggak Pak dilakukan di sini?"
K: "Feasible feasible aja."
http://fc01.deviantart.net |
Quote Mr. M ini sungguh terasa ketika menginjakkan kaki di tahun terakhir kuliah. Apalagi, kalau bukan karena kehadiran makhluk seram yang bernama T.A. Flashback ke belakang ketika saya berada di tingkat 2 dan mendengar keluhan kakak-kakak yang sedang TA, batin saya "Apaan sih, lebay". Dan akhirnya saya tahu, keluhan itu memang tidak lebay sama sekali.
Okay, kisah ini saya awali dari semester 6. "Gilee, si X udah ngetag dosen pembimbing?" "Yekali nel, Bu Y aja udah penuh tuh, udah full booked." "What the ****? Orang-orang yang terlalu ambis atau saya yang kelewat selow??"
Then, kegalauan muncul ketika di tengah-tengah pelajaran Bioteknologi, salah satu mata kuliah favorit saya, Bu Debbie mengatakan bagi siswa yang berminat TA di Biotek, diharapkan mendaftar dan mengirimkan CV serta motivation letter, untuk kemudian diseleksi. FYI, TA di Biotek merupakan prestise tersendiri, di mana anak-anaknya adalah anak-anak ber-IP tinggi, ambis, dan perfeksionis. Kemudian itulah yang menambah kegalauan saya. Dulu saya ingin sekali TA disini. Namun, saya membuat keputusan dan lompatan yang besar. Ya, saya bukan menyukai Bioteknologi Farmasi, saya hanya bisa. Bisa, belum tentu suka. Dan suka, belum tentu bisa. Passion saya bukan di Bioteknologi Farmasi yang biasanya berkutat pada produksi protein, passion saya di bidang rekayasa genetikanya sendiri (up stream). Setelah sholat tahajud dan segala macam, saya memutuskan untuk tidak apply Biotek dan memilih Neuropsychopharmacology sebagai bidang TA saya. Done. Beres.
A Big Thing Called: UNCERTAINTY
Karena saya tidak apply Biotek, otomatis opsi yang tersisa bagi saya adalah: Farmakologi. Dan, prinsip saya hanya satu hal, di Farmakologi saya hanya mau TA di bidang syaraf, tidak untuk yang lain. Oleh karena itu, saya mencoba berbicara dengan calon pembimbing saya, yang memang dia satu-satunya dosen Farmasi yang sering mengubek-ubek tentang sistem saraf. Jawaban dari beliau hanya satu, "Saya tidak bisa memutuskan. Semua keputusan ada di Ketua KK." Okay, fine. I don't like uncertainty. It hurts hahaha
Kemudian, baru pada semester 7 beredar angket untuk KK Farmakologi, di mana bagi mahasiswa yang berniat masuk ke KK tersebut diminta untuk menuliskan topik yang diminati serta dosen yang diinginkan. Tentu saja saya menuliskan Neuropsychopharmacology dan Bapak tersebut sebagai satu-satunya spesialis bidang tersebut.
1 Bulan Kemudian.....
Di papan pengumuman KK Farmakologi, tertempel beberapa lembar kertas, di mana paling atas tertulis nama saya. Dosen pembimbing: Prof. Dr. Andreanus Soemardji. Seperti ada petir bergelegar. Sejujurnya saya sangat mengagumi kecerdasan, kejeniusan, idealisme beliau. Semua orang tahu itu. Hanya saja, interest beliau bukan pada syaraf. Dan ketika melihat mahasiswa bimbing dosen pembimbing yang saya inginkan, kok isinya jurusan tetangga semua? Tak satupun dari jurusan saya.
Kemudian, saya memutuskan. I don't care, siapapun pembimbing saya, pokoknya saya akan tetap melakukan penelitian di bidang syaraf. Titik. Saya anggap ini ujian atas persistensi.
Pertemuan Pertama dengan Prof. Andre
"Kalian cari-cari dulu skripsi yang dulu-dulu. Lihat di bagian sarannya. Bisa ambil dari situ. Jadi nggak harus topik yang baru. Penelitian itu yang penting kebermanfaatannya." (makin ngefans). Lalu, saya bertanya ke beliau,
Saya: "Pak, kalau saya mau TA di bidang syaraf, boleh kan?"
Pak A: "Kenapa nggak ke Pak Kus saja?"
Saya: "Pas daftar saya udah menuliskan neuropsychopharmacology Pak, tapi gak dapet."
Pak A: "Lah itu gimana? Jangan-jangan ketua KK nya gak tau lagi itu apa?"
Pak A: "Lah itu gimana? Jangan-jangan ketua KK nya gak tau lagi itu apa?"
Saya: "Terus gimana Pak?"
Pak A: "Kamu ke Pak Kus saja. Hubungi ketua KK dulu."
Pak A: "Kamu ke Pak Kus saja. Hubungi ketua KK dulu."
*Tetot tetot*
Singkat cerita, saya ke ketua KK. Sempat dimarahi, karena mengoabrak-abrik pembagian dosbing-mabing yang telah dirancang oleh beliau. Beliau turun tangan. Jadi saya langsung ke Pak Kus, calon dosbing saya yang baru.
Singkat cerita juga, dia mau-mau aja, tapi takut nggak enak ke Pak Andre. Saya bilang, justru yang nyuruh itu Pak Andre. Kemudian ditawarkan, apakah Pak Kus jadi dosbing serta atau pindah jadi dosbing utama. Dasarnya anaknya simpel dan nggak mau ribet, saya memutuskan untuk pindah saja.
PEMILIHAN TOPIK TUGAS AKHIR
Beberapa bulan sebelumnya, saya pernah menulis artikel di Rhamnosa mengenai kemampuan amnestik dari Skopolamin. Kemudian saya berpikir, mungkin obat ini bisa jadi anti-PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Selanjutnya juga, saya menonton video TEDx edisi ilmuwan MIT menemukan cara untuk memanipulasi memori. Saya berpikir bahwa ini juga bisa jadi solusi untuk pasien PTSD. Seolah-olah semua itu menuntun saya ke arah satu titik: PTSD.
Hambatan? Banyak. Yang pertama, belum pernah ada di SF ITB yang meneliti tentang topik PTSD. Jadi, saat itu saya sangat buta, cuma modal pustaka, tidak ada yang bisa dimintai saran atau nasehat. Kedua, keterbatasan alat. Saya menggunakan Fear Conditioning System untuk membuat mencit model PTSD, yang kalau beli itu harganya ratusan juta. Isu ini saya bawa ke dosen pembimbing. Percakapan dengan dosen pembimbing:
N: "Feasible nggak Pak dilakukan di sini?"
K: "Feasible feasible aja."
N: "Saya bisa lulus Juli nggak Pak?"
K: "Bisa SIH, tapi berarti kamu di semester ini harus udah bikin alatnya. Itu Pak S punya ipar dosen di Teknik Fisika. Mungkin bisa minta bantuan beliau."
N: "Pak S? OH NO!!!" (dalam hati)
K: "Bisa SIH, tapi berarti kamu di semester ini harus udah bikin alatnya. Itu Pak S punya ipar dosen di Teknik Fisika. Mungkin bisa minta bantuan beliau."
N: "Pak S? OH NO!!!" (dalam hati)
Singkat cerita, malam demi malam saya habiskan untuk membaca jurnal metode. Mempelajari segala detail metode ini, dan mencoba merancangnya versi sederhana. Begadang sampai pagi, hingga sering telat dan bolos untuk Mata Kuliah yang mulainya jam 7 pagi. Well, tapi saya menikmatinya. Pengetahuan yang baru mengaktifkan brain-reward system saya. DAN INI CANDU!!!! Jujur, saya sudah tidak begitu fokus kuliah, waktu saya banyak saya habiskan untuk mempelajari topik TA saya.
Singkat cerita, Desember 2014 alat yang dibuat oleh mahasiswa Teknik Mesin ini jadi. Tapi harus dicoba ke mencit. Nggak punya mencit. Jadilah saya mengemis mencit ke Lab SF dan PAU, hanya untuk menguji alat. Tetot, nggak kelihatan nyetrum. Perbaiki lagi. Nggak mau lagi. Hingga pada perbaikan ke-3 barulah alat ini mau nyetrum mencit. Alhamdulillah. Alat ini saya namakan "Gundala Putra Petir"
Pada semester tersebut, sembari mengerjakan alat, saya juga harus menyusun proposal Tugas Akhir. Dan agen yang saya gunakan tidak lagi skopolamin, tetapi Deksametason dan Diklofenak. Deadline dari Dosbing untuk pengumpulan proposal adalah beberapa hari sebelum deadline keluarnya nilai. Namun, karena saya tidak ingin tertahan lama di Bandung, saya membuat D.L. sendiri, yaitu hari terakhir UAS. Ini artinya, sambil belajar untuk UAS, saya juga harus mulai membuat proposal. Proposal saya selesai beberapa jam sebelum UAS hari terakhir, dan dengan kondisi saya belum belajar sama sekali materi untuk UAS tersebut. Hanya demi proposal. Dan akhirnya waktu ujian mengarang bebas. Begitu nilai keluar, dapat C. Hahaha. Tapi saya nggak menyesal, karena teman-teman yang belajar juga nilainya kisaran B, BC, dan C. Hahaha.
Comments
Post a Comment