ADA APA DENGAN PUNGGUNGKU ? (SKOLIOSIS PART I)


Saya sudah lupa kapan tepatnya saya memiliki benjolan (hump) di punggung sebelah kanan, sepertinya sekitar kelas IX (14-15 th). Benjolan itu tidak terlihat ketika saya memakai baju.  Di kamar mandi saya ada sebuah cermin yang berukuran cukup besar, dan disitu saya baru melihat bahwa ada yang abnormal dengan tubuh saya, namun saya diam saja tidak menceritakannya kepada siapa pun. Pikiran seorang bocah. Terlalu sederhana. Saya pikir semua orang punya bagian tubuh yang tidak simetris. Selama itu tidak mengganggu ya santai saja.

Pada suatu hari, saya lupa tepatnya kapan, ayah saya mengomentari masalah ini. Kemudian ibu saya juga mengeceknya. Di situlah baru ketahuan memang punggung saya benar-benar abnormal. Saat itu saya masih selow aja. Orang tua saya juga sama, karena background keluarga saya merupakan orang awam di bidang medis. Beberapa tahun memiliki benjolan pada punggung, saya tak mempunyai keluhan sama sekali. Orang tua saya sama juga, sudah lupa akan hal itu.

Baru saat kelas XI akhir, orang tua saya tergerak untuk memeriksakan saya ke dokter (mungkin karena benjolan yang semakin kelihatan).  Mungkin sudah benar-benar kelihatan karena kelas XI awal ada seorang teman bernama Elly yang berkomentar, “Eh neli, kata Guntur kamu scoliosis ya? Aku juga lho”. Saya cuma tersenyum bingung. Pertama, telinga saya memang sudah tak asing dengan kata scoliosis sejak SD karena itu dibicarakan di kelas biologi. Dan saya tau betul definisi serta gambar penderita scoliosis, yaitu tulang belakangnya membengkok ke kanan atau ke kiri. Namun, saya tidak merasa terkena scoliosis, terus darimana teman saya itu tau? Atau hanya SOK TAU? Pikir saya.

Lanjut, pada bulan Juni 2010 (usia 17) saya diperiksakan ke RSUD Salatiga bersama ayah. Saat itu sampai harus membolos pelatihan olimpiade Biologi. Sampai di sana, saya langsung dirujuk ke poli bedah umum (bukan bedah tulang). Dokter tsb meminta saya untuk rontgen terlebih dahulu. Setelah rontgen selesai, hasilnya dibaca oleh dokter dan dinyatakan saya scoliosis. Just it. Hanya itu. Tidak ada pengukuran derajat, dan saya juga tidak tahu ada pengukuran semacam itu. Saat itu saya masih selow. Oh scoliosis to.. ya udah. Dari situ tidak ada tindak lanjut dan saya menjalani aktivitas sebagaimana adanya.

Lalu, saya mulai searching mengenai penyakit yang satu ini. Namun, hanya searching dangkal. Saya mulai agak sedikit khawatir, terutama karena saya sering kesemutan dan tremor. Saya juga tidak kuat berlari lagi. Saya bicarakan dengan ayah, lalu saya dibawa ke RSU Salatiga kembali. Namun sekarang saya dirujuk ke dokter syaraf, dr. Gamma namanya. Di sana saya dites suruh menggenggam jarinya sekuat-kuatnya. Lalu, kata beliau syaraf saya masih baik, jadi tidak masalah. Saya hanya disuruh duduk tegak, berjalan tegak, berdiri tegak, tidur telentang, dsb. Intinya jaga postur. Lalu, beliau memberikan resep vitamin B entah B12 atau B berapa, saat itu saya tidak peduli. That’s my personality. Minum obat dan masih selow aja.

Suatu hari, bulik saya (tante) menyarankan saya untuk berobat ke RS Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Solo karena anak beliau alias sepupu saya baru saja patah tulang dan dibawa ke RS tsb. Disana dia ditangani secara profesional. Akhirnya, agustus 2010 saat itu Bulan Ramadhan saya dibawa ke RS tsb. Awalnya saya diperiksa oleh dokter muda terlebih dahulu. Saya diminta untuk berada dalam posisi ruku’ dan beliau melihat hump (benjolan) pada punggung saya. Langsung, beliau meminta saya untuk rontgen. Baru, setelah hasil rontgen ada, saya bertemu dengan masternya, Prof Respati, ahli spine (tulang belakang).


rontgen 19 juni 2012 50 derajat
Saat itu, pengetahuan saya di bidang penyakit ini sudah cukup banyak. Saya sudah tahu ada pengukuran derajat. Saya sudah tahu macam pengobatannya. Dan I just hope n pray. Semoga derajatnya < 40. Begitu diukur, deng deng deng. Dengan senyum ramahnya, prof ini berkata “wah ini derajatnya 50. Kalau di bawah 40, masih bisa diterapi dan pakai brace. Kalau di atas 40, ya tidak ada cara lain selain operasi.” What? Saya tidak menyangka sama sekali hasil ini. Galau setengah mati. Karena waktu itu saya pernah dapet sumber yang mengatakan kalau keberhasilan operasi scoliosis hanya 40%. Ayah saya juga saat itu bimbang. Lalu, dia memutuskan, “Dipertimbangkan dulu aja sama ibunya, Dok”. Dan masa-masa kelam pun dimulai. Tidak se-slow sebelumnya. -To be continued-

Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR