BOREDOM IN A HOSPITAL (Skoliosis part VI)


Keadaan di ruang rawat inap tidak berbeda jauh dengan ICU. Infus masih menempel, 2 macam selang di punggung masih bergelayutan, kateter kencing masih dipasang. Hanya tidak ada selang infus, alat elektrokardiografi, dan tensimeter. Pukul 02.00 dini hari keesokan harinya, obat penghilang rasa nyeri yang dimasukkan lewat punggung sudah harus dicopot. Dan perawat berkata bahwa saya tidak bisa terus-terusan tergantung dengan obat ini. Mungkin akan berasa sakit setelah dicopot. Kalau benar-benar sudah tidak tahan, maka boleh dipasang lagi.

Astagfirullah, rasanya sakiiit sekali. Bahkan, ketika saya  menuliskan kisah ini (6 bl post operasi) saya masih lemas ketika membayangkan rasa sakitnya. Saat itu ibu saya yang menunggui. Dari jam 2 hingga jam 4 dini hari, saya tidak bisa tidur menahan kesakitan. Daaan saya menangis. Rasa sakit paling hebat yang pernah saya rasakan seumur hidup saya. Kasihan ibu saya, beliau panik sekali. Bahkan, saat itu beliau hendak memanggil perawat untuk memberikan obat anti nyeri lagi. Namun, saya mencegahnya. Saya tidak ingin tergantung. Saya akan membuktikan bahwa pikiran saya lebih kuat daripada fisik saya. Saat itu, saya mencoba untuk mengusir rasa sakit dengan melantunkan asmaul husna di dalam hati sambil membayangkan sedang menuliskan ejaan asmaul husna dengan huruf arab. Ajaib, tahu-tahu saya tertidur. Keesokan harinya, rasa sakitnya sudah tidak sesakit dini hari tadi. 

"Dan baru-baru ini saya tahu bahwa rasa sakit yang saya alami tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit ibu saya saat melahirkan saya. Rasa sakit yang bisa ditahan manusia maksimal 45 del (unit), sementara seorang ibu saat melahirkan rasa sakitnya mencapai 57 del. LUAR BIASA"

Dua hari setelah operasi selang darah, selang obat, dan kateter saya dicopot semua. Nahan-nahan sakit dikit waktu tubuh saya dibolak-balik sama perawat. Hari demi hari karena tidak ada kerjaan selain nonton tv, maka saya lebih banyak berpikir dan merenung. "Ini mimpi nggak sih saya sudah operasi?" Kalau waktu bisa balik lagi, apakah saya akan membatalkan operasi? Karena setelah operasi saya galau lagi.

"Rasanya itu orang yang sudah operasi itu seperti gadis yang hilang keperawanannya. Tubuhnya sudah tidak alami lagi. Sudah dimasukin sesuatu dari luar, yaitu platina tadi."

Hari ini ada musibah lagi yang terjadi pada keluarga saya. Kakak laki-laki saya, Mas Otaf yang kuliah di Jogja mengalami kecelakaan dini hari. Ditabrak oleh orang mabuk. Dia pulang dini hari selepas mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Kontan, ayah saya yang di rumah kelabakan waktu diberitahu oleh temannya. Menurut kesaksian adik saya yang di rumah, beliau terlihat sedih sekali seperti meratapi nasib. Wajarlah, dua orang anaknya mengalami musibah. Akhirnya, ayah saya menyuruh kakak saya yang saat itu di jogja untuk diperiksakan di RSO sekalian, takut ada yang patah. Dan sore itu, adik2 saya semuanya datang, komplitlah di rumah sakit. Alhamdulillah, kakak saya hanya memar dan bisa rawat jalan.

Untuk pertama kalinya saya tertawa terbahak-bahak selama dirawat inap di RS. Tidak ada yang mengalahkan kekonyolan adik2 saya. “Please, tolong hentikan kegilaan kalian. Punggung saya nyeri nih, ketika tertawa terbahak-bahak.” Dan ada penderitaan yang datang lagi, sejak pagi tadi kateter saya dicopot hingga senja ini, saya belum kencing sama sekali !!! Perut saya sakit lagi. Ibu saya memanggil perawat dan perawat menawarkan untuk memasang kateter lagi. TIDAAAK!!! Jawab saya. Sumpah, nggak enak banget pakai kateter. Akhirnya, perawat menyarankan untuk memancing kencing dengan air (tisu basah). Ajaib, langsung keluar semua. Satu gayung bo’..

Yap, selama dirawat di RSO ini hal yang paling saya sukai adalah sesi FISIOTERAPI yang datang tiap pukul 10 pagi. O ya, untuk sementara saya memakai brace (semacam rompi penyangga) pinjaman dari RSO. Dan dengan koneksi Mas Darman, fisioterapis saya, brace itu bisa saya pakai beberapa hari (seharusnya bergantian karena ada banyak pasien di sini). Awalnya, saya dilatih untuk duduk. Pusing, tidur lagi. Duduk sampai tegak. Lalu jalan-jalan dengan kursi roda melihat taman. Setelah lancar, mulai berdiri. Setelah bisa berdiri, mulai berjalan pelan-pelan. Alhamdulillah bisa jalan. Kebahagiaan yang luar biasa.

My brace ("My bullet proof vest")
Pada hari keberapa entah saya lupa, saya dibawa ke ruangan ortotetik prostetik, tempat pembuatan brace. Disitu badan saya dicetak dengan gips dan saya harus berdiri kurang lebih setengah jam.  Alhamdulillah kuat, walau hampir mau jatuh ketika cetakan sudah kering.

Tanggal 9 Juli, brace saya, I called it “my bullet prove vest” udah jadi. Itu artinya, besok bisa pulang. Asyiik… dan hari ini saya sudah bisa makan sendiri, ke kamar mandi sendiri. Sudah mandirilah. Dan saya mulai sholat dengan duduk. Bahkan hari terakhir di rumah sakit, saya dan ibu saya berjalan-jalan ke kantin (tanpa sepengetahuan perawat) karena kalau sampai ketahuan bisa dilarang. Alhamdulillah pulang ke rumah setelah 10 hari 9 malam berada di tempat membosankan. Terima kasih Ya Allah... -To be continued-

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?