WHEN I WAKE UP (SKOLIOSIS PART V)


Saya membuka mata sedikit demi sedikit namun saya merasakan kantuk yang sangat hebat. Dengan setengah sadar saya menggumam entah kepada siapa, 

Ini operasinya udah atau belum ya?” 

Dan ada sosok mas-mas yang menjawab, “udah kok”. Punggung saya terasa pegal sekali, dan saya juga merasa sangat mengantuk, bahasa jawanya kriyip-kriyip (ini gak bisa ditranslate ke bahasa Indonesia).  Selang oksigen tertancap di hidung. Berikutnya,  muncul sesosok bapak-bapak ramah dengan mengenakan baju operasi bertanya, “Yang jaga siapa ini?” Saya menjawab, “Keluarga”. Lalu, beliau berkata lagi, “Kok gak ditungguin pacarnya?”. Terus saya sedikit tersenyum meringis sambil setengah membuka mata. Lalu beliau dengan gaya khas dagelannya berkata, “Nah itu udah bisa ketawa”. Di situ saya baru sadar bahwa saya sudah sadar ???

Sesosok perawat mendatangi saya. Saya  berkata bahwa lutut kanan saya bergetar. Ternyata badan saya menggigil. Lalu beliau menawarkan saya untuk mengenakan selimut panas. Sebuah kain dibentangkan di atas tubuh, lalu selimut itu digembungkan dengan dialiri udara panas. Tak berapa lama tubuh saya terasa hangat dan berhenti menggigil.

Saya tersadar bahwa sekarang saya sudah berada di ruang ICU. Tubuh saya terasa lemas sekali. Saya melihat sosok yang berganti-ganti. Mulai mama, papa, mbak dini, bulik, om, sepupu, berganti-ganti menjenguk saya sambil menanyakan saya. Dan jujur saya kaget sekali mengetahui mereka datang. Terharu dan speechless. Ternyata saat saya operasi, ibu saya menelepon saudara-saudara, memohon doa restu untuk saya. Setelah saya cukup sadarkan diri, beberapa perawat dan dokter bergantian mengunjungi saya dan menanyakan kabar saya. Alhamdulillah, saya tidak merasa pusing atau mual, hanya merasa lemas, ngantuk, pegal, sampai mulut saja rasanya berat untuk mengatakan sepatah kata.

Saya bertanya, "Jam berapa sekarang?" Ternyata sudah jam 17.00. Sekitar pukul 19.00 perawat bertanya lagi, apakah saya merasa mual? Saya menjawab "TIDAK". Akhirnya saya diperbolehkan makan dan minum. Di sini saya baru tahu, kentut ternyata bukan persyaratan mutlak diperbolehkannya makan setelah operasi.

"Dengan kesadaran penuh, saya menyadari ternyata tubuh saya parah sekali. Selang dimana-mana, dari atas sampai bawah."

Hidung terpasang selang oksigen. Oksigen disini fungsinya mempercepat sampainya obat ke sel-sel target dan membuang sisa-sisa obat bius. Tangan kiri terpasang infus yang berisi cairan tubuh dan obat yang disuntikkan melalui selang tersebut. Lalu pada selang lainnya ada obat anti nyeri yang berbentuk cairan dengan wadahnya berupa wadah suntik yang besar.

Suntikan tersebut dimasukkan ke sebuah mesin berbentuk kotak, dimana pada mesin tsb dapat diatur berapa kecepatan tetesan obat itu yang akan masuk ke tubuh saya melalui selang. Disitu saya terheran-heran, “wah baru liat mesin yang beginian ni.”  Obat anti nyeri ini langsung mengalir ke punggung saya untuk memblok saraf nyeri disitu. Baru-baru ini saya mengetahui ketika belajar di anfisman. Kemungkinan obat tersebut dimasukkan pada cairan meninges, pelindung sumsum tulang belakang.

Di jempol kanan saya terpasang pencetan elektrokardiografi untuk mengetahui aktivitas jantung saya. Di lengan kanan terpasang alat pengukur tensi otomatis. Setiap beberapa menit sekali, alat itu akan menekan lengan saya sehingga menimbulkan tekanan sistole dan diastole yang besarnya dapat dilihat pada monitor. Tekanan darah saya rendah sekali, 90-100/ 60-70. Di punggung saya juga terpasang selang yang menghubungkan dengan kantong darah. Selang ini berfungsi untuk membuang sisa darah operasi. Sedangkan pada alat urinasi saya terpasan kateter pipis. Jadi saya gak perlu pipis, otomatis dia akan mengalirkan air kencing saya. Dan saya kapok pakai kateter lagi.Alhamdulillah saya tidak menerima transfusi darah sama sekali.

Badan saya benar-benar terasa pegal, susah bergerak, dan tidak bisa tidur pulas. Dan saat saya menarik napas,  saya tidak bisa menarik napas panjang, sakit rasanya. Saya merasa sesak, dan merasa dada saya sangat busung sekarang. 

"Badan saya berubah, benar-benar kaku seperti robot, udah dipermak abis."

Kata dokter, operasi ini dilakukan dengan meluruskan tulang belakang saya. Kata beliau juga melibatkan rotasi tulang belakang juga. Lalu, tulang yang sudah lurus tersebut supaya tidak balik bengkok lagi diikat ke sebuah penyangga, pen yang terbuat dari platina. Panjang sayatan pada punggung saya kira-kira 20 cm. Kata perawat, jahitannya bagus sekali, rapi. (Maaf foto jahitan tidak dapat ditampilkan pada tulisan ini).

Letak platina pada tabel periodik

Perlu diketahui, platina adalah logam yang tidak reaktif, jadi tidak perlu khawatir pen yang diimplan ke dalam tubuh akan BERKARAT!!! Nomor atomnya 78, di sebelahnya Au (emas). Kemudian, disekrup dan diikat dengan entah apa. 

"Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, kalo saya lewat detektor metal bakalan bunyi nggak sih???"

Paginya, di ruang ICU, saya dikunjungi oleh dokter jantung. Sebelum jatah saya, dokter itu mengunjungi pasien di sebelah saya. Saya menguping. Beliau mengatakan bahwa pasien tersebut punya penyakit jantung. Ada yang bermasalah dengan katupnya. Saya menjadi was-was. Takut kalau saya punya kasus jantung yang tidak ketahuan juga. Tapi, alhamdulilah, kata dokter tsb jantung saya SEHAT!!!

Hasil rontgen H+1 operasi
Pagi menjelang siang, Prof Respati yang mengoperasi saya beserta asistennya berkunjung. Beliau mengetes lutut saya, kaki saya, pokoknya memastikan saya baik-baik saja. Alhamdulillah, saya diperbolehkan pindah ke ruang rawat inap. Sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap, saya mampir dulu ke ruang radiografi untuk rontgen di atas ranjang, haha. Geli sendiri. Dan hasilnya memuaskan. Derajatnya jadi 15  -To be continued-

Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR