WAS I BORN TO LOVE WRITING?

Saya ingin mengenang sedikit masa lalu saya di bidang tulis menulis. Tidak cerah memang, tapi lucu untuk dikenang. Dari sejak saya lahir, saya seperti tidak ditakdirkan untuk memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Nilai ujian nasional paling jelek dari SD, SMP, maupun SMA sudah dapat ditebak, yaitu Bahasa Indonesia. Ujian pilihan ganda saja tidak bisa, apalagi ujian esai.

Kacau balau setiap ada tugas mengarang, membuat esai, cerita, puisi, dan sebagainya. Hal yang saya benci karena saya tidak bisa menuliskan apa yang ada di pikiran saya. Tulisan saya macam anak SD yang sangat kaku dan benar-benar SPOK. Saya memang aneh. Biasanya orang yang senang membaca, juga senang menulis. Saya kutu buku, sangat kutu buku (sejak saya bisa membaca), tetapi tidak doyan menulis.

Hingga suatu ketika semuanya berubah. Saat kelas XII SMA, saya bertemu dengan seorang guru Bahasa Indonesia yang luar biasa, namanya Bu Uswatun. Berbeda dengan sistem yang digunakan guru-guru lain dalam mengajar, beliau memberikan penekanan pada menulis. Awalnya saya benar-benar tidak suka. Tugas pertama yang saya ingat adalah menulis resensi buku non-fiksi. Waktu itu saya menulis resensi tentang Quantum Ikhlas. Oh ya, Bu Uswatun ini senang berjalan dari anak ke anak untuk melihat hasil proses menulis siswa. Bukan hanya menerima hasil akhir seperti kebanyakan guru lain.

Waktu itu beliau membaca tulisan saya, dan berkomentar, "Ini kok kalimat yang ini sama yang ini gak nyambung, seperti tulisan anak SD." Saya sama sekali tidak tersinggung, karena saya memang sadar tulisan saya seburuk apa. Dan sudah banyak yang bilang seperti itu, wajar sajalah. Setelah saya perbaiki lagi, hasilnya lumayan.

Kemudian tugas kedua adalah membuat esai tentang Ujian Nasional. Isinya boleh pernyataan setuju, menentang, atau keduanya. Entah kenapa waktu membuat tulisan ini saya bersemangat, seperti kerasukan. Saya mengkritik ini itu dengan memberikan alasan yang logis. Kata-kata yang saya gunakan juga banyak mengandung konotasi yang artinya tajam. Bisa dikatakan isi tulisan saya tidak pasaran. Waktu itu beliau memberikan pujian untuk tulisan saya, kurang lebih, "Sudut pandang yang digunakan bagus, pengembangan pola pikirnya juga bagus." Seketika saya melayang. Salah seorang teman saya juga memujinya, "Ini dikirimkan ke koran aja, Nel. Pasti dimuat" Waa tambah melayang.

Pulang dari rumah, saya menceritakannya pada orang tua saya. Mereka jelas sekali kaget, karena mereka dari dulu tahu bahwa saya tidak bisa menulis. Singkat cerita, sejak saat itu saya mencintai menulis, sebesar saya mencintai Neuroscience atau Forensik.

Bahkan, setelah saya lulus SMA, masuk ke Perguruan Tinggi, saya mengambil kegiatan kemahasiswaan di bidang jurnalistik semua. Saya menjadi anggota Pers Mahasiswa ITB, reporter Kantor Berita ITB, dan sebagai editor dan penulis pada Majalah Rhamnosa, milik Himpunan Mahasiswa Farmasi ITB. Menulis menulis menulis. Saya mencintai menulis lebih dari cinta saya kepada Farmasi :)

NB: salah satu bukti lagi, bahwa bagi saya mencintai sesuatu adalah proses

Comments

Popular posts from this blog

IF YOU WANNA GO, JUST GO!!!

PERLUKAH MENCATAT SAAT KULIAH?

BLINK: KEMAMPUAN BERPIKIR TANPA BERPIKIR